
Kabar menyedihkan datang dari salah satu pesantren di Sidoarjo, Jawa Timur. Ambruknya mushola Ponpes Al Khoziny terjadi pada Senin (19/9) sore sekitar pukul 15.00 WIB korban setidaknya 67 orang meninggal dunia dan 104 orang korban selamat. Hingga saat ini Tim SAR dan BNPB terus melakukan evakuasi terhadap korban yang terkena reruntuhan.
Dosen Teknik Sipil dan Lingkungan UGM, Ir. Ashar Saputra, S.T., M.T., Ph.D., menyatakan peristiwa ambruknya bangunan mushola di pondok pesantren ini menjadi pengingat penting tentang perlunya kepatuhan terhadap peraturan teknis bangunan gedung, terutama bagi fasilitas yang digunakan masyarakat luas. Dalam kacamata sipil, kata Ashar, bangunan publik sepatutnya memiliki kinerja yang sudah diatur dalam peraturan. “Untuk memastikan kinerja itu tercapai, terdapat sejumlah tahapan yang harus dipenuhi, termasuk proses perizinan melalui Persetujuan Bangunan Gedung (PBG),” kata Ashar, Selasa (7/10).
Ashar menjelaskan bahwa sudah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung, termasuk juga PBG, yang menetapkan serangkaian tahapan evaluasi mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga fungsi bangunan. Ketika proses ini dilewati, maka tidak ada yang memeriksa struktur dan kekuatan bangunan dengan sesuai. Akibatnya, kinerja bangunan bisa jauh dari standar keselamatan yang seharusnya. “Sayangnya, banyak lembaga pendidikan dan pondok pesantren yang mendirikan bangunan tanpa melewati tahapan ini,” ujarnya.
Dari hasil pengamatannya, Ashar menilai kemungkinan besar bangunan mushola yang runtuh masih berada dalam proses konstruksi dan sudah digunakan untuk aktivitas lain. Menurutnya, kondisi ini sangat berisiko karena struktur bangunan belum sepenuhnya stabil. Ia menduga proses pengecoran belum sempurna, padahal bangunan masih membutuhkan penopang.
Selain itu, faktor lain yang mungkin memperburuk kondisi adalah penambahan lantai bangunan tanpa perhitungan ulang struktur. Ashar menjelaskan bahwa bangunan yang awalnya dirancang satu lantai tentu tidak bisa menanggung beban tambahan begitu saja. “Bangunan yang tadinya hanya satu lantai kemudian ditambah-tambah tentu saja kapasitasnya tidak mampu,” katanya.
Soal pilihan penggunaan struktur beton maupun baja, menurut Ashar, keduanya bisa digunakan asal memenuhi target kinerja struktur sesuai standar teknis. Namun, ia mengakui material baja memiliki keunggulan dari sisi konsistensi mutu karena diproduksi secara industri dan terstandarisasi. “Keduanya tetap sah digunakan asalkan perencanaannya tepat dan pengawasannya benar,” ujarnya.
Disamping itu, Ashar menilai penting adanya langkah bersama dalam menyusun roadmap evaluasi bangunan pendidikan dan pesantren. Walaupun, hal ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Ashar menyebutkan roadmap tersebut perlu disusun bersama antara Kementerian Agama, Kementerian Teknis, hingga Kementerian Pendidikan. “Kemudian mungkin organisasi kemasyarakatan yang menaungi pondok pesantren itu,” tuturnya.Sebagai penutup, ia juga mengingatkan bahwa jasa pondok pesantren dalam mencerdaskan bangsa sangat besar sehingga keselamatan para santri menjadi prioritas utama. Terlebih bangunan pesantren berisiko tinggi karena menampung banyak orang. Ashar menegaskan bahwa kejadian ini, terlebih aspek keselamatan, tidak boleh dianggap takdir, melainkan dapat dicegah melalui perencanaan dan pengawasan yang baik.
Penulis : Hanifah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Republika