
Indonesia akan menambah kepemilikan saham Freeport sebesar 12 Persen. Dengan penambahan ini maka Indonesia siap memegang 63 persen saham PT Freeport Indonesia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia telah menyampaikan pemerintah telah memfinalisasi negosiasi penambahan kepemilikan saham mereka di PT Freeport Indonesia. Pada saat bersamaan, penambahan saham ini bakal memperpanjang izin tambang Freeport.
Penambahan saham dengan diikuti perpanjangan izin usaha pertambangan (IUP) tentu menimbulkan pertanyaan banyak pihak. Lantas apa kata pengamat ekonomi energi Universitas Gajah Mada (UGM), Dr. Fahmy Radhi soal ini? Menurutnya, penambahan saham Freeport 12 persen tidak sebanding dengan penambahan perpanjangan 20 tahun lagi yang diperkirakan berakhir pada tahun 2061.
“Benefit diterima Indonesia hanya sebatas kenaikan dividen saja. Padahal Freeport akan mulai undermining yang membutuhkan investasi dan biaya operasional membengkak sehingga menurunkan laba yang pada gilirannya mengurangi deviden,” ujarnya di Kampus UGM, Kamis (9/10).
Karena itu, ia berpendapat kebijakan penambahan saham 12 persen yang diikuti perpanjangan izin kontrak sebaiknya dibatalkan. Bagaimanapun, kondisi tersebut berakibat biaya yang lebih besar dibanding benefit. Kemungkinan yang terjadi adalah penurunan deviden. “Bahkan dimungkinkan tidak akan dapat deviden kalau Freeport mengalami rugi usaha di kemudian hari akibat membengkaknya biaya untuk proses undermining,” terangnya.
Berhitung kerugian besar yang akan diperoleh, Fahmy tegas berpandangan tidak menutup kemungkinan kebijakan penambahan 12 saham PT Freeport untuk bisa dibatalkan. Meskipun memang kesepakatan tersebut terjadi di saat pemerintahan Presiden Jokowi, namun Memorandum of Understanding belum ditandatangani. “Presiden Prabowo saya kira masih bisa membatalkan kesepakatan tersebut dengan pertimbangan kepentingan negara,” ungkapnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Sindo.News.com