
World Wide Fund for Nature (WWF) menyebutkan 5 dari 10 satwa paling terancam punah di dunia, hidup dan berkembang biak di Indonesia dengan kondisi yang kurang baik dan mengkhawatirkan. Beberapa satwa liar yang terancam punah di Indonesia tersebut, yakni spesies orangutan Kalimantan, orangutan Sumatera, harimau sumatera, trenggiling sunda, dan penyu sisik.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Prof. Dr. drh. Raden Wisnu Nurcahyo, mengatakan bahwa tantangan terhadap konservasi satwa liar adalah penyelamatan habitat yang sudah tidak aman lagi ditempati. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan fungsi lahan, perburuan liar yang kemudian dijual atau dimanfaatkan untuk kepentingan lain, terkena dampak perubahan iklim, dan terpapar penyakit.
Bagi Wisnu, kolaborasi, komunikasi, dan koordinasi berbagai pihak menjadi kunci penting yang patut diberlakukan dalam maksud untuk mengurangi praktik-praktik negatif pada satwa liar yang terancam punah. Pihak-pihak tersebut antara lain masyarakat yang peduli terhadap satwa liar, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. “Kalau kita tidak saling berkoordinasi, nantinya akan jalan sendiri-sendiri. Tidak boleh ada ego sektoral dalam melindungi satwa yang dilindungi ini,” tegasnya,Senin (13/10).
Selain itu, Wisnu juga menyampaikan dengan keprihatinannya dalam penegakan hukum bagi pelaku perdagangan satwa yang dilindungi ini. Ia menilai bahwa hukuman yang ringan bagi orang-orang yang bertanggung jawab atas perburuan ataupun perdagangan satwa liar tersebut tidak akan memberikan efek jera. “JIka yang diberikan hukuman yang ringan tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku,” ungkapnya.
Di samping itu, Wisnu menekankan kampanye dan edukasi kepada masyarakat dalam upaya melindungi satwa satwa yang dilindungi dan populasinya mulai terancam punah tersebut. “Kita harus memberikan penyadaran kepada masyarakat,” jelasnya.
Selain dari sisi penegakan hukum, kata Wisnu, perlu diterapkan pendekatan dari sisi budaya. Misalnya, beberapa daerah di Pulau Komodo yang memiliki kepercayaan bahwa komodo adalah saudara mereka sehingga mereka tidak mungkin membunuh saudaranya sendiri. Upaya tersebut menurutnya sebagai bentuk etno-konservasi.
Dikatakan Wisnu, apabila tidak dilakukan tindakan tegas bagi pencegahan perburuan liar ini atau perusakan habitat bagi satwa tersebut maka akan berdampak pada terganggunya rantai makanan. “Contohnya, perburuan rusa yang mengakibatkan predator kekurangan sumber pakan sehingga dia justru mengambil kambing milik penduduk sebagai sasaran,” terangnya.
Menurut Wisnu, satwa liar sebenarnya juga membawa banyak manfaat bagi lingkungan, namun tidak semua orang mengetahui hal tersebut. Salah satu contohnya adalah orang utan yang ternyata makan buah-buahan dan ketika mengeluarkan kotoran yang terdapat bijinya, biji tersebut tersebar dan dapat membuat hutan lebih subur. “Intinya, semua pihak itu harus bersama-sama, berkolaborasi, dan berkomunikasi untuk menjaga satwa liar dari kepunahan. Saya kira kita bisa melestarikan satwa liar dengan kekuatan kemampuan kita masing-masing,” pungkasnya.
Penulis : Alena Damaris
Editor : Gusti Grehenson
Foto : WWF