
Retinoblastoma merupakan salah satu kanker anak paling umum di dunia, dengan angka kejadian mencapai 1 dari 16.000–28.000 kelahiran. Di negara maju, deteksi dini dan penanganan tepat membuat tingkat keberhasilan terapi dapat mencapai 99%. Akan tetapi, di Indonesia keterlambatan diagnosis masih menjadi masalah serius, menyebabkan 40–70% pasien mengalami kehilangan penglihatan, kecacatan permanen, atau bahkan kematian. Kondisi ini menegaskan perlunya sistem skrining yang cepat, akurat, dan terjangkau untuk meningkatkan peluang kesembuhan serta menekan angka kebutaan pada anak.
Menjawab tantangan tersebut, tim mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Karsa Cipta (PKM-KC) menghadirkan solusi inovatif bertajuk Rb-AID (Retinoblastoma Artificial Intelligence Detection). Inovasi ini memanfaatkan sistem two-step convolutional neural network (TSCNN) yang terintegrasi dalam aplikasi seluler untuk melakukan pemeriksaan fundus mata secara real-time pada balita.
Tim ini dipimpin oleh Jonathan Setiawan (Teknik Nuklir 2023) bersama anggota Ammar Ali Yasir (Teknologi Informasi 2023), Ammar (Teknik Mesin 2023), Muhammad Hafidz Al Farisi (Teknologi Informasi 2023), dan Emeliana Putri Ayu Ningsih (Kedokteran 2024), di bawah bimbingan Prof. Dr. Eng. Ir. Herianto, S.T., M.Eng., IPU., ASEAN Eng.
Jonathan menjelaskan bahwa Rb-AID terdiri dari dua komponen utama: Rb-AID tool dan Rb-AID mobile decision system. Komponen pertama berfungsi menjaga stabilitas dan kualitas akuisisi citra fundus, sementara sistem kedua menggunakan TSCNN dua tahap untuk menganalisis hasil pemeriksaan secara cepat dan objektif. “Keputusan skrining tidak bergantung pada subjektivitas operator dan dapat diterapkan di layanan primer,” kata Jonathan kepada wartawan, Senin (13/10).
Secara teknis, perangkat Rb-AID dirancang melalui proses perancangan di Autodesk Inventor, pencetakan 3D menggunakan bahan PLA yang ramah lingkungan, serta pemakaian lensa 20D untuk memastikan hasil visual yang tajam. “Mekanisme alat memungkinkan ponsel terpasang stabil di dudukan khusus dengan jarak kerja ideal sekitar 50 mm agar pencahayaan dan fokus optimal ke retina.
Pada sisi perangkat lunak, sistem kecerdasan buatan dilatih menggunakan ribuan citra fundus yang mencakup kasus retinoblastoma dan citra normal sebagai pembanding. Melalui arsitektur TSCNN, aplikasi mampu mengenali tanda-tanda klinis seperti massa putih pada retina, pola pembuluh darah tidak normal, serta refleksi cahaya yang tidak merata akibat lesi. Aplikasi juga dilengkapi dua mode kerja secara offline dengan menggunakan rujukan manual oleh petugas. Sedangkan secara online, otomatis merekomendasikan fasilitas oftalmologi terdekat serta mengirim hasil pemeriksaan ke dokter untuk verifikasi.
Dari sisi kebaruan, Rb-AID menjadi sistem pertama yang mengombinasikan stabilisasi pengambilan gambar berbasis perangkat dengan analisis dua tahap berbasis deep learning. “Pendekatan ini menutup kelemahan metode terdahulu yang bergantung pada foto non-fundus atau tanpa alat bantu yang rentan bias,” katanya.
Inovasi ini diharapkan dapat mempercepat deteksi retinoblastoma di daerah dengan keterbatasan alat fundus konvensional dan tenaga ahli. “Melalui Rb-AID, kami ingin menghadirkan skrining dini yang lebih cepat, konsisten, dan terjangkau, agar setiap anak di Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk melihat dunia,” ujarnya.
Dalam jangka panjang, tim menargetkan pengembangan prototipe fungsional yang sepenuhnya terintegrasi dengan aplikasi seluler, disertai laporan ilmiah dan publikasi edukatif. Upaya ini selaras dengan tema PKM 2025 di bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat, sekaligus mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) poin 3 tentang Good Health and Well-being.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Tim PKM dan Freepik