
Indonesia menghadapi tantangan kompleks dalam mengatur dan menegakkan hukum terhadap potensi konflik bersenjata di laut, terutama dalam konteks perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan hidup. Pasalnya, hingga saat ini pemerintah RI belum memiliki regulasi eksplisit mengenai konflik bersenjata non-internasional di laut, termasuk mekanisme penegakan hukumnya.
Hal itu dikemukakan oleh Guru Besar bidang Ilmu Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Prof. Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A., dalam pidato pengukuhan jabatan guru besar dirinya yang berlangsung di Balai Senat UGM, Selasa (14/10).
Dalam pidato pengukuhan yang berjudul “Tantangan Indonesia terhadap Konflik Bersenjata di Laut”, Jaka Triyana mengkaji secara mendalam enam aspek utama yang mencakup dinamika hukum laut internasional, hukum HAM internasional, dan hukum humaniter internasional dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan.
Pada bagian awal, ia menyoroti latar belakang historis dan geopolitik global yang menunjukkan semakin kompleksnya ancaman konflik bersenjata di laut. Aspek ini menegaskan pentingnya sinergi antara United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), Law of Naval Warfare (LONW), dan sistem hukum nasional dalam membangun kerangka perlindungan yang efektif.
Lebih lanjut, Jaka menjelaskan bahwa setiap zona maritim memiliki status hukum dan kewenangan yang berbeda, sehingga pemahaman mendalam atas klasifikasi tersebut menjadi kunci dalam menentukan batas-batas penegakan hukum ketika konflik terjadi. “Dalam mengatasi konflik bersenjata yang terjadi di laut, kita perlu terlebih dahulu memahami di mana tepatnya konflik tersebut dapat terjadi karena setiap zona maritim memiliki status hukum dan kewenangan hukum yang berbeda bagi negara pantai,” tuturnya.
Dalam paparannya, Prof. Jaka juga menyoroti pasal 236 UNCLOS yang menyatakan bahwa ketentuan perlindungan lingkungan laut tidak berlaku bagi kapal perang dan kendaraan milik negara yang digunakan untuk kepentingan non-komersial. “Celah hukum ini dapat berdampak negatif terhadap perlindungan lingkungan dan penegakan HAM di wilayah laut Indonesia,” paparnya.
Selain itu, Indonesia dinilai masih menghadapi kekosongan hukum karena belum memiliki regulasi eksplisit mengenai konflik bersenjata non-internasional di laut, termasuk mekanisme penegakan hukumnya. Ia mencontohkan praktik Sri Lanka yang telah merancang regulasi permanen untuk mempertegas status hukum aktor non-negara di laut serta memperkuat peran lembaga penegak hukum seperti Sri Lanka Coast Guard. “Indonesia dapat mengambil pelajaran dari Sri Lanka dengan merancang regulasi permanen yang menjelaskan status hukum aktor non-negara di laut dan mempertegas peran lembaga seperti Bakamla sebagai penegak hukum maritim nasional,” ungkapnya.
Jaka Triyana juga menekankan pentingnya memperjelas tugas dan kewenangan Bakamla agar lebih efektif dalam menjalankan fungsinya. Penegasan ini, menurutnya, akan memberikan kepastian hukum, legitimasi operasional, dan memperkuat perlindungan HAM serta kelestarian lingkungan laut Indonesia. Ia pun menyerukan perlunya koordinasi lintas lembaga dan penyusunan aturan nasional yang komprehensif. “Aturan nasional diperlukan agar semua aktor, mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum, hingga pemangku kepentingan di sektor maritim, memiliki landasan hukum yang jelas dalam mengatasi konflik bersenjata di laut,” tegasnya.
Ia berharap, penguatan hukum maritim Indonesia dapat memperkokoh kedaulatan negara serta menjamin hak dan kepentingan strategis nasional di laut, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan laut yang menjadi bagian penting dari identitas Indonesia sebagai negara kepulauan.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto