
Hasil penelitian terbaru dari Center for Biomarker Research in Medicine, Austria, menyebutkan cemaran partikel plastik berukuran kurang dari 5 milimeter terbukti dapat mengubah mikrobioma usus manusia. Bahkan beberapa perubahan tersebut menyerupai pola yang terkait dengan depresi dan kanker kolorektal.
Mikroplastik kini telah menjadi bagian yang tak terhindarkan dari kehidupan sehari-hari. Partikel kecil ini ditemukan di udara yang kita hirup, makanan yang kita konsumsi, hingga air yang kita minum. Kondisi tersebut menjadi perhatian serius para peneliti, termasuk Dr. Annisa Utami Rauf, dosen dan peneliti kesehatan lingkungan FK-KMK Universitas Gadjah Mada, menyoroti urgensi pengendalian paparan mikroplastik di tingkat individu maupun kebijakan nasional.
Menurut Annisa, tantangan terbesar dalam memantau dan mengendalikan paparan mikroplastik terletak pada upaya mengurangi penggunaan plastik itu sendiri. “Saat ini mikroplastik telah tersebar luas di berbagai aspek kehidupan, mulai dari udara hingga makanan dan air,” katanya, Selasa (14/10).
Meski pemerintah telah menetapkan target ambisius melalui National Plastic Action Partnership (NPAP) untuk mengurangi sampah plastik di laut hingga 70 persen pada tahun 2025. Namun, target tersebut sulit tercapai apabila perilaku masyarakat terhadap plastik sekali pakai belum berubah secara signifikan.
Di lain sisi, ia juga menambahkan mengenai kebiasaan menggunakan kantong belanja, kemasan makanan, dan pembungkus dalam transaksi daring masih menjadi sumber utama pencemaran mikroplastik. “Perubahan gaya hidup menjadi langkah awal yang paling realistis untuk mengurangi dampak jangka panjangnya terhadap kesehatan,” paparnya.
Annisa menyebutkan hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia menelan sekitar 15 gram mikroplastik setiap bulan, menjadikan Indonesia salah satu negara dengan tingkat paparan tertinggi di dunia. Pembatasan penggunaan plastik, terutama pada kemasan makanan, harus diperkuat. Industri makanan dan produsen punya peran besar dalam merancang kemasan yang aman dan ramah lingkungan.”Masyarakat juga perlu lebih selektif memilih produk dengan kemasan yang minim plastik,” ungkapanya.
Langkah kecil di kehidupan sehari-hari, menurutnya, bisa memberi dampak besar. Masyarakat dapat mulai dengan membawa tumbler sendiri, menghindari air kemasan sekali pakai, dan menggunakan wadah yang dapat digunakan berulang kali. “Di lingkungan pendidikan seperti kampus, kebiasaan ini bisa diterapkan secara kolektif. UGM sendiri sudah memiliki Toyagama yang menyediakan akses air minum bersih di berbagai titik kampus,” ujarnya.
Akan tetapi, ia juga mengingatkan bahwa air minum galon sekali pakai maupun isi ulang dari depot (DAMIU) tidak sepenuhnya bebas dari risiko. Beberapa penelitian menunjukkan adanya kandungan mikroplastik jenis high density polyethylene (HDPE) dan polyethylene terephthalate (PET) pada wadah tersebut. Karena itu, perlu ada kebijakan lebih ketat terkait standar keamanan air minum dan pengawasan bahan kemasan yang digunakan masyarakat luas.
Selain mengubah perilaku individu, Annisa menekankan pentingnya penguatan riset dan kebijakan publik untuk memahami serta menekan dampak mikroplastik terhadap kesehatan manusia. Adapun masih ada keterbatasan fasilitas laboratorium untuk pengujian dan analisis mikroplastik di banyak wilayah Indonesia. “Keterbatasan ini menyebabkan data ilmiah tentang dampak mikroplastik di dalam tubuh manusia masih belum menyeluruh,” paparnya.
Meski demikian, ia optimistis terhadap perkembangan riset di bidang ini. Beberapa penelitian terbaru menunjukkan adanya mikroba yang mampu mendegradasi molekul mikroplastik. Annisa menegaskan, langkah paling efektif tetap dimulai dari akar masalah eliminasi mikroplastik sejak dari sumbernya. “Jika tidak dikendalikan, akumulasi mikroplastik akan terus berlangsung dan masuk ke rantai makanan yang kita konsumsi, mulai dari ikan, ayam, hingga hasil pertanian,” tutupnya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik