
Kesehatan mental para lansia sering kali menjadi isu yang luput dari perhatian. Sebagai kelompok rentan, lansia dihadapkan pada berbagai tantangan psikologis, salah satunya mereka menghadapi fenomena empty nest syndrome atau sindrom sarang kosong. Tidak sedikit dari mereka yang terkena syndrome ini merasakan kesepian di saat anak-anak mereka merantau. Mereka pun mengalami krisis identitas, muncul gangguan tidur, perubahan nafsu makan hingga berbagai gejala fisik lainnya karena dampak psikologis.
Fenomena ini tentu bisa terjadi di banyak daerah. Rendahnya dukungan sosial dan motivasi hidup para lansia menjadi permasalahan dan tantangan yang harus diselesaiakan oleh banyak pihak. Seperti yang terjadi di Desa Wunung, Gunungkidul, para lansia ditengarai jarang berkegiatan dalam komunitas. Hal tersebut menjadi faktor cukup berpengaruh bagi lansia dalam memenuhi kebutuhan kesejahteraan emosional.
Melihat permasalahan tersebut, Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Pengabdian Masyarakat (PKM-PM) mengajak pengurus Bina Keluarga Lansia Seger Waras di Desa Wunung, Gunung Kidul melakukan inovasi untuk mengembangkan program psikoedukasi Srawung Rasa yang interaktif guna memberdayakan kehidupan lansia. Dalam inovasi ini, Tim PKM-PM Srawung Rasa UGM memanfaatkan media seperti flashcard (Kartu Polah), jurnal syukur, dan terapi seni untuk meningkatkan kesejahteraan emosional dengan sasaran guna mempererat hubungan sosial antar lansia.
Mereka yang tergabung dalam Tim PKM-PM Srawung Rasa UGM antara lain Muhammad Fajrulfalaq Izzulfirdausyah Suryaprabandaru (FT), Annisa’ Karimatul Arifin (Farmasi), Raida Hanum Qurratu’ain (Psikologi), Raya Akhsani Amartaningjati (Geografi), dan Nizrina Najwa Amalia (Geografi). Tim inipun mendapat pendampingan Dr. Arum Febriani, S.Psi, M.A., selaku dosen pembimbing, dan mendapat dukungan pendanaan dari UGM dan Kemendikbudristek.
Muhammad Fajrulfalaq mengatakan program Srawung Rasa di Desa Wunung, Gunungkidul bertujuan untuk melatih para pengurus BKL agar dapat memfasilitasi kegiatan yang mampu meningkatkan kesejahteraan emosional para lansia secara mandiri. Melalui kolaborasi ini, para pengurus BKL mendapatkan pengetahuan dan perangkat baru untuk menjalankan sesi diskusi yang lebih mendalam dan bermakna. “Dengan pendekatan yang partisipatif, sesi diskusi kemudian menjadi lebih hidup, dua arah, dan tidak lagi terasa seperti penyuluhan satu arah,” ungkapnya di Kampus UGM, Rabu (15/10).
Muh Fajrulfalaq menambahkan media Srawung Rasa merupakan kombinasi pendekatan psikoedukasi dengan media interaktif. Psikoedukasi sendiri merupakan metode untuk memberikan pemahaman mengenai kesehatan mental dan cara mengelolanya. Lebih rinci, ia menjelaskan interaksi akan muncul ketika flashcard yang berisi ilustrasi situasi sehari-hari menjadi pemantik diskusi. Dalam hal ini, para lansia akan merespons cerita pada kartu tersebut dan berbagi pengalamannya. “Srawung Rasa ini juga didesain untuk membangun lingkungan yang suportif. Peserta lain didorong untuk memberikan afirmasi positif kepada lansia yang berbagi cerita. Hal ini tentunya akan memicu rasa aman, keterbukaan, dan keaktifan melalui interaksi kelompok yang hangat,” jelasnya.
Raida Hanum Qurratu’ain menyatakan berbagai materi dan media psikoedukasi ini telah melalui uji kelayakan terlebih dahulu melalui diskusi dan konsultasi. Seluruh konten materi divalidasi oleh para ahli psikologi, termasuk Dosen Pembimbing yang merupakan pakar psikologi lansia, serta lembaga profesional seperti Biro Psikologi CMT. Sosialisasi program dilakukan melalui pelatihan dan pendampingan secara tatap muka di Desa Wunung yang meliputi pengenalan konsep Srawung Rasa, cara menggunakan media, dan panduan fasilitasi yang terangkum dalam buku pedoman.
Raidah menambahkan target dari sosialisasi adalah para pengurus BKL dapat memfasilitasi dan menerapkan program Srawung Rasa dalam kegiatan rutin secara mandiri, serta meningkatkan partisipasi dan keterbukaan emosional para lansia. Setelah itu dilakukan penerapan program dalam kegiatan BKL, serta evaluasi pemahaman terhadap buku pedoman. Hal ini perlu guna melihat apakah pengurus dapat memfasilitasi secara mandiri, dilakukan simulasi dan praktik langsung yang dipimpin oleh pengurus BKL,” terangnya.
Sutiatmi salah satu pengurus Bina Keluarga Lansia (BKL) Seger Waras di Desa Wunung mengakui bila sebelumnya telah dilakukan pengamatan yang memperlihatkan banyak lansia cenderung menjadi lebih pendiam dan kehilangan semangat setelah anak-anak mereka tidak lagi tinggal serumah. Kondisi ini membuat para lansia merasa kesepian, kurang memiliki teman berbagi, dan kehilangan peran dalam keseharian mereka.
Ia mengakui kurang menariknya kegiatan dalam komunitas sering kali memang belum menyentuh kebutuhan emosional para lansia. Bahkan, hal tersebut memunculkan keengganan dari mereka untuk bergabung dalam komunitas. “Kegiatan-kegiatan terbatas, kebayakan hanya penyuluhan-penyluhan kesehatan fisik, dan belum bisa menjadi media interaktif mengupas perasaan yang dialami para lansia. Hal ini mungkin yang menjadikan para lansia memilih memendam perasaan,” ujar Sutiatmi.
Penulis : Agung Nugroho