
Belum genap setahun menjabat, pemerintahan Prabowo-Gibran terus menunjukkan dinamika politik yang bergejolak. Melalui restrukturisasi besar-besaran dan perombakan nomenklatur serta penambahan kementerian dan lembaga baru. Salah satunya penurunan status Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan BUMN (BP BUMN). Sementara di sisi lain, sebuah badan vital justru diangkat menjadi kementerian penuh melalui pembentukan Kementerian Haji dan Umrah. Kabinet yang gemuk ini ditengarai menyebabkan terjadinya tumpang tindihnya kebijakan dan koordinasi yang sulit serta menjadi penyebab lambatnya serapan anggaran.
Perubahan struktural yang dilakukan pemerintahan Prabowo-Gibran ini menurut Guru Besar bidang kebijakan publik UGM, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, sebagai fenomena proliferasi (penggemukan) kabinet yang bisa berdampak buruk pada efektivitas kerja pemerintah. “Sejak pembentukan kabinet Oktober 2024 sudah terdapat indikasi bahwa kabinet di bawah Presiden Prabowo mengalami proliferasi yang sangat signifikan,” ujar Wahyudi, kamis (16/10).
Menurut Wahyudi kabinet yang gemuk ini perlu dievaluasi. Sebab berdasarkan hasil studi tentang organisasi dan tatalaksana yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) tahun 2014 merekomendasikan jumlah ideal hanya 22 Kementerian/Lembaga dan bahkan batas maksimalnya adalah 34 dalam UU no.39 Tahun 2008.
Saat ini, jumlah kementerian dan lembaga sudah lebih dari 50 kementerian. Menurut Wahyudi, kebijakan ini tak terhindarkan karena semangat Presiden untuk merangkul sebanyak mungkin unsur parpol dan ormas. “Akibatnya, tumpang-tindih urusan tak terhindarkan dan koordinasi kebijakan menjadi semakin sulit,” ujarnya.
Bagi Wahyudi, dampak paling jelas dengan adanya proliferasi ini adalah peningkatan kebutuhan anggaran untuk mendanai kebutuhan operasional kementerian atau lembaga. “Lembaga baru, nomenklatur baru, serta pejabat baru tentu membutuhkan akomodasi berupa papan nama, kantor, gaji pejabat setingkat Eselon-1 dengan semua biaya operasionalnya,” tutur peneliti yang membidangi public budgeting ini.
Selain itu, Wahyudi Kumorotomo juga menyoroti lambatnya penyerapan anggaran pemerintah dan pemda saat ini disebabkan ketidakjelasan otoritas antar Kementerian dan Lembaga. “Padahal, belanja pemerintah yang efektif sangat dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan industri riil, terutama saat ekonomi sedang menghadapi banyak persoalan,” pungkasnya.
Penulis : Aldi Firmansyah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Detik