![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2019/12/11121915760499391982419037-766x510.jpeg)
Pengajar di Departemen Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM, Erna Kristin, dikukuhkan sebagai guru besar, Rabu (11/12) di Balai Senat UGM.
Dalam upacara pengukuhan, ia menyampaikan pidato berjudul “Penilaian Teknologi Terapetik di Era Jaminan Kesehatan Nasional”.
“Penilaian teknologi kesehatan dilakukan untuk membantu dan menginformasikan pemegang kebijakan agar dapat memutuskan apakah suatu teknologi dapat diterapkan dan dimanfaatkan, memiliki luaran yang baik, serta dengan biaya yang terjangkau,” paparnya.
Sejak pemerintah memutuskan untuk melaksanakan program JKN, Kementerian Kesehatan membentuk Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK) yang antara lain bertugas untuk melakukan berbagai penilaian teknologi kesehatan yang dapat dimasukkan atau harus dikeluarkan dari paket manfaat program JKN, dan memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan terkait teknologi kesehatan yang cost-effective.
Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, Erna menuturkan bahwa suatu obat atau intervensi tidak selalu dapat dikatakan cost-effective jika hanya berdasarkan pada murahnya harga obat atau biaya pengobatan.
“Dalam konteks pertanyaan almarhum ayah saya, saya dapat menyimpulkan bahwa pemberian asam asetilsalisilat pada pasien dengan fibrilasi atrial nonkatup untuk menurunkan risiko stroke dinyatakan tidak cost-effective karena outcome yang diperoleh tidak sebaik pembandingnya yaitu warfarin,” ucapnya.
Di samping itu, suatu obat atau intervensi yang dinyatakan cost-effective di suatu negara belum tentu cost-effective juga di negara yang lain. Hal tersebut menurutnya tergantung pada willingness to pay, affordability, serta berbagai faktor yang memengaruhi outcome.
Sejarah HTA di Indonesia sendiri, jelasnya, berawal dari tahun 2003. Proses yang panjang diawali dengan melakukan berbagai kajian tentang teknologi kesehatan yang ada di Indonesia, apakah benar-benar bermanfaat berdasarkan bukti ilmiah yang tersedia.
Pasang surut HTA di Indonesia terutama dibayangi oleh keterbatasan biaya dan sumber daya yang tersedia secara penuh waktu. Namun demikian, setidaknya berbagai topik studi telah berhasil diselesaikan seperti profilaksis vitamin K, transfusi darah, persiapan preoperasi, imunomodulator, dan lainnya.
“Tantangan terbesar bagi HTA di Indonesia adalah pada aspek eksekusi karena pada saat itu sistem pelayanan kesehatan bersifat out of pocket dan keputusan sepenuhnya ada pada masing-masing institusi pelayanan kesehatan,” terangnya.
Dalam menjalankan fungsinya, KPTK melibatkan berbagai kelompok peneliti yang disebut sebagai agen untuk melaksanakan studi penilaian teknologi kesehatan yang topiknya telah ditetapkan sebagai topik prioritas.
Departemen Farmakologi FKKMK UGM juga menjadi salah satu agen PTK yang mendapat kesempatan untuk melakukan dua studi bersama Rumah Sakit Dr. Sardjito, Fakultas Farmasi UGM, para klinisi terkait di delapan rumah sakit serta para ahli lain secara multidisipliner. (Humas UGM/Gloria)