
Budidayakan ikan air tawar dalam skala kecil saat ini banyak dikembangkan oleh warga di Dusun Petung, Desa Wates, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Pasalnya, warga setempat memanfaatkan potensi sumber daya air yang melimpah untuk budidaya ikan air tawar ini sebagai salah satu sumber penghasilan tambahan untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Namun begitu, usaha budidaya perikanan ini tidak seluruhnya lancar. Tidak jarang mereka harus menghadapi kerugian akibat banyaknya bibit ikan yang mati mendadak.
“Sumber daya manusia di desa ini berlimpah, tetapi masih kurang keahlian dalam mengatasi hama tersebut,” keluh salah satu warga, Winarno, bersama dengan belasan petani ikan lainnya saat mengikuti kegiatan penyuluhan yang diselenggarakan oleh tim dosen dari Departemen Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (FKH UGM).
Saat ditemui di lokasi, banyak petani ikan membawa langsung persoalan yang kerap dihadapi, mulai dari kematian ikan secara mendadak, munculnya jamur dan parasit di sisik, hingga tata kelola kolam. Kematian ikan yang mendadak memiliki beberapa faktor penyebab, banyak petani di Dusun Petung masih menebar benih ikan langsung ke kolam setelah membeli dari pasar. Kebiasaan ini, menurut drh. Sugiyono, M.Sc., menjadi penyebab utama ikan stres dan rentan terserang penyakit. “Kebiasaan ini yang menyebabkan bibit ikan banyak yang mati,” kata Sugiyono, Senin (20/10)
Ia melanjutkan tata kelola yang tepat, ikan baru beli harus diadaptasikan terlebih dahulu, tanpa dikeluarkan dari tempat asalnya, lalu bibit ikan tersebut dimasukkan ke wadah berisi air suhu ruang. Setelah itu, pindahkan ke wadah berisi air kolam yang sudah diberi obat atau garam krosok untuk membunuh bibit penyakit. “Kalau airnya sudah selesai disiapkan, baru kemudian benih aman ditebar di kolam utama,” ujar Sugiyono.
Setuju dengan hal tersebut, drh. Mia Nur Farida, M.Sc., dosen FKH UGM lainnya juga menekankan bahwa perubahan air secara mendadak dapat menurunkan sistem kekebalan ikan sehingga menjadi pintu masuk bagi jamur dan bakteri. Persiapan kolam dan air yang matang menjadi kunci keberhasilan budidaya. “Karena ikan tingkat stresnya tinggi sehingga kalau tidak sakit, ya, mati, terlebih kematiannya cenderung massal,” tekan Mia.
Selain bibit baru, kematian massal juga dikeluhkan tani dalam kasus ikan gurame yang secara mendadak berubah warna. Sugiyono menjelaskan fenomena ini berkaitan dengan hipoksia atau kekurangan oksigen di air kolam. Saat musim hujan, ia menjelaskan bahwa proses fotosintesis alga menurun sehingga oksigen berkurang, terlebih jika jumlah ikan padat.
Mencegah hal tersebut, Sugiyono menyarankan untuk dilakukan penggantian air atau dengan aerator. Selain itu, perlu dilakukan penjarangan atau pembagian kolam untuk mengurangi kepadatan ikan. “Kalau ikannya semakin besar itu seharusnya sudah mulai dibedakan tempat,” tambahnya.
Jamur dan parasit juga salah satu dari daftar permasalahan tani di lokasi, drh. Afif Muhammad Akrom, M.Sc., menjelaskan bahwa jamur merupakan organisme yang sebenarnya selalu ada di perairan. “Namun, penyakit ini baru menyerang ikan ketika kondisi sedang stres, daya tahan tubuh menurun, atau terdapat luka pada tubuhnya,” paparnya.
Menurut Afif luka ini sering muncul akibat perpindahan dari sawah ke kolam atau karena ikan berkelahi. Kemudian, biasanya tumbuh di permukaan kulit, sisik, atau insang. “Penyakit ini pemicunya bisa dari cuaca atau sumber air bermasalah. Terlebih treatment jamur cukup sulit ya,” ucapnya.
Sugiyono menambahkan untuk penanganan jamur, bisa digunakan obat antijamur yang dijual di pasaran. Selain itu, pemberian garam krosok dan menjaga sirkulasi air secara rutin juga dapat membantu menekan pertumbuhan jamur. “Jamur umumnya berkembang di air dingin dan kolam yang tertutup pepohonan sehingga kolam perlu mendapat cukup sinar matahari,” tuturnya.
Lebih lanjut, Mia menjelaskan terkait bahaya parasit Argulus atau kutu ikan, yang sering menempel pada sisik hingga insang. Parasit ini menyebabkan ikan sulit bernapas, terlihat dari perilaku ikan yang berenang cepat dan menabrak dinding kolam. “Luka yang ditimbulkan memudahkan bakteri masuk ke tubuh ikan,” sebutnya.
Mia menambahkan bahwa Argulus tidak langsung menempel pada ikan setelah menetas, tetapi berkembang di dinding kolam atau tumbuhan air terlebih dahulu. “Sehingga yang diperhatikan itu kebersihan dari lingkungan kolamnya. Misal kelihatannya bersih di ikan, mungkin ada telur yang bersembunyi,” pesannya.
Menurut Sugiyono, parasit tersebut sulit dibasmi dengan obat. Bahkan ketika direndam dalam larutan formalin, Argulus hanya cenderung lemas dan tidak mati. Kata Sugiyono pencegahan terbaik adalah menggunakan biofilter untuk menyaring air agar larva dan parasit tidak masuk ke kolam.
Ia menggarisbawahi, penggantian air harus dilakukan secara berkala dan kolam perlu dikeringkan setelah panen untuk membunuh sisa bakteri atau parasit. “Setelah itu, baiknya tanah diolah dan ditambahkan kompos untuk menumbuhkan plankton alami sebagai sumber makanan ikan baru,” tambahnya.
Catatan untuk pembuatan kolam baru, menurutnya wajib juga ditunggu kering setelah pengerukan untuk menghilangkan gas senyawa racun bawaan lumpur. Sugiyono menyatakan dua minggu cukup untuk benih dan air bisa diisi setelah plankton juga tumbuh.
Berbeda dengan kolam semen, Afif menuturkan kolam baru dapat diisi air yang perlu ditunggu sekitar satu minggu. Kemudian, dilakukan pengurasan dan disarankan untuk menunggu proses tumbuhnya lumut. “Atau dengan memasukkan ikan cethol tiga hingga lima hari baru berani menaruh bibit,” pungkasnya.
Menutup kegiatan, Mia selaku ketua tim berharap program ini dapat membantu meningkatkan produktivitas petani ikan untuk terus maju dan mengembangkan produktivitasnya hingga ranah ekonomi.
Penulis : Hanifah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Jesi dan Freepik