
Guru Besar bidang Ilmu Geologi Batubara, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Prof. Ferian Anggara dan tim, mengembangkan Gamahumat, inovasi pembenah tanah yang memanfaatkan batubara berkalori rendah sebagai bahan baku utama. Langkah ini menjadi terobosan untuk menepis anggapan negatif terhadap industri tambang dengan menunjukkan bahwa sisa kegiatan pertambangan dapat diolah menjadi produk ramah lingkungan yang bermanfaat bagi pertanian dan reklamasi lahan. “Kami ingin menunjukkan bahwa sektor tambang pun bisa memberi kontribusi positif bagi keberlanjutan lingkungan,” ujar Ferian, Senin (20/10).
Riset Gamahumat bermula pada 2022 di bawah koordinasi Ferian bersama tim di Fakultas Teknik UGM. Penelitian dilakukan untuk mencari solusi pengelolaan batubara kalori rendah yang berlimpah di Indonesia yang selama ini kurang termanfaatkan. Dukungan pendanaan diberikan secara berkelanjutan oleh PT Bukit Asam (PTBA), yang sejak awal melihat potensi besar produk ini. “Sejak tahun 2018, PT Bukit Asam menjadi mitra utama riset kami untuk berbagai topik dan terus mendukung karena hasilnya terbukti aplikatif,” tuturnya.
Proses penelitian mencakup tahap ekstraksi batubara hingga menghasilkan senyawa humat, yaitu senyawa aktif yang berperan memperbaiki struktur dan kesuburan tanah. Penelitian terkait dengan ekstraksi senyawa humat dan peningkatan nilai tambah batubara juga mendapatkan dukungan dari Pusat Sumberdaya Mineral Batubara dan Panasbumi (PSDMBP), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Produk hasil riset ini diberi nama Gamahumat dan telah menarik minat PT Bukit Asam untuk dikembangkan secara komersial dengan merek dagang BA Grow. Melalui kerja sama ini, hasil inovasi kampus dapat langsung diterapkan di lapangan dan mendukung reklamasi lahan tambang. “Kami memegang lisensi produk Gamahumat, sementara PT Bukit Asam memasarkan versi industrinya dengan nama BA Grow,” ungkapnya.
Uji coba Gamahumat dilakukan di berbagai lokasi dengan karakter tanah yang beragam, seperti di lahan marginal berupa lahan karst di Gunungkidul dan lahan pasiran di Turgo, Sleman. Penggunaan produk ini terbukti dapat berfungsi sebagai pH adjuster sekaligus meningkatkan produktivitas tanaman. “Pada tanaman padi yang ditanam di lahan pasiran dengan pH asam, penggunaan pupuk dapat dikurangi hingga 50 persen dan hasil gabah tetap mencapai 6 ton per hektar,” ujar Ferian.
Lebih lanjut, Ferian menjelaskan senyawa ini berfungsi sebagai soil stabilizer yang memperbaiki struktur tanah agar lebih gembur dan menjaga unsur hara tetap tersedia bagi tanaman. Gamahumat juga membantu menetralkan tanah masam sehingga efisiensi pemupukan meningkat secara alami. “Gamahumat membantu menyeimbangkan pH dan menjaga unsur hara agar lebih mudah diserap oleh akar tanaman,” katanya.
Keunggulan lain dari produk ini adalah kemudahannya diterapkan tanpa menambah biaya tenaga kerja. Sebagai pembenah tanah, Gamahumat diaplikasikan sejak tahap awal pengolahan lahan, kemudian kembali digunakan pada hari ke-14 dan ke-30 bersamaan dengan kegiatan pemupukan rutin tanaman padi. Pola ini membuat petani tidak perlu menambah tahapan kerja maupun biaya tambahan. “Kami memastikan Gamahumat bisa digunakan dalam alur kerja petani tanpa menambah tenaga atau biaya tambahan,” terang Ferian.
Ferian menekankan bahwa riset ini berfokus pada inovasi yang memberi dampak nyata bagi keberlanjutan lingkungan sekaligus mendukung perekonomian nasional. Industri tambang yang kerap dinilai hanya mengeksploitasi sumber daya alam, sejatinya juga berperan penting sebagai penyumbang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batubara. Melalui pendekatan riset seperti Gamahumat, potensi hasil tambang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan nilai tambah di bidang pertanian dan rehabilitasi lingkungan. “Kami ingin mengubah paradigma bahwa dari tambang pun bisa lahir solusi hijau yang mendukung ketahanan pangan,” pungkasnya.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Donnie