
Peningkatan kasus dari Diabetes Melitus (DM) sebagai salah satu penyakit metabolik yang menyerang dari berbagai kalangan usia sehingga menimbulkan kekhawatiran atas munculnya komplikasi yang menyertai, salah satunya ulkus diabetikum. Ulkus diabetikum bukanlah sekedar luka bagi penderita DM, karena ulkus diabetikum dapat mengancam nyawa ketika tidak dapat disembuhkan secara tepat dan cepat.
Berangkat dari permasalahan ini, Tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Eksakta (PKM-RE) ChloScaf+ Universitas Gadjah Mada mengembangakan scaffold hidrogel yang berbasis bahan-bahan alami dari eceng gondok dan mikro alga. Seperti diketahui Scaffold hidrogel merupakan biomaterial yang dapat memfasilitasi pembentukan struktur jaringan. “Eceng gondok dan mikroalga yang awalnya sering dianggap sebagai hama ataupun gangguan pada ekosistem perairan mulai dikenal masyarakat sebagai bahan alami yang bernilai ekonomis tinggi serta berpotensi sebagai komponen material dalam berbagai industri, salah satunya industri kesehatan,” kata Pamastadewi Pryankha Hijrianto, mahasiswa dari Fakultas Biologi sebagai ketua tim, kamis (23/10).
Tim PKM ini beranggotakan Keanu Saputra Valenka Darmawan (Fakultas Teknologi Pertanian), Gresmawarrenes Jamuss (Fakultas Farmasi), Kamilah Kusuma Maharani (Fakultas Farmasi), dan Lidya Oktaviani (Fakultas Teknik), serta di bawah bimbingan Bapak Tyas Ikhsan Hikmawan, S.Si., M.S., Ph.D.
Pamastadewi menuturkan inovasi yang mereka kembangkan diharapkan tidak hanya dapat menyelesaikan masalah secara nyata, namun juga berdampak dan bermanfaat bagi masyarakat dari sisi ekonomi. Melalui studi literatur serta penelitian yang telah dilakukan, Tim ini berhasil membuat scaffold hidrogel dengan memanfaatkan bahan selulosa eceng gondok sebagai material yang mudah terurai namun memiliki daya serap yang tinggi serta mengelaborasikan biomassa mikroalga Chlorella vulgaris yang dikenal kaya akan antioksidan maupun metabolit sekunder. “Dengan memanfaatkan karakteristik dari kedua bahan yang saling melengkapi, kesembuhan dari pasien dengan ulkus diabetikum dapat tercapai dalam waktu yang singkat,” ungkap Gres Gresmawarrenes Jamuss, anggota tim.
Menurutnya, adanya aktivitas antibakteri pada scaffold hidrogel juga menjadi salah satu faktor penting yang menjamin penyembuhan luka bebas dari infeksi bakteri seperti Staphylococcus aureus. “Keberadaan bakteri patogen tidak hanya sekedar menginfeksi bagian ulkus yang belum sembuh secara sempurna, namun juga pada kasus terparah dapat menimbulkan kematian jaringan atau gangrene yang berujung pada amputasi,” ujarnya.
Lidya Oktaviani, anggota tim lainnya, menuturkan pengembangan scaffold hidrogel ramah lingkungan dilakukan melalui beberapa tahapan. Awalnya, serat kering dari eceng gondok perlu diolah terlebih dahulu dengan menghilangkan lapisan lilin pada serat, pemutihan serat, serta asidifikasi dengan larutan sehingga dihasilkan serat selulosa yang putih dan halus. Lalu, mikro alga hijau Chlorella vulgaris kemudian dipanen dan dikeringkan melalui liofilisasi sehingga didapatkan biomassa yang berwarna hijau serta beraroma khas dari mikroalga tersebut.
Untuk proses preparasi bahan yang sudah selesai dilakukan kemudian dilanjutkan dengan formulasi sehingga didapatkan scaffold hidrogel dengan berbagai konsentrasi alga sebesar 0.05%, 0.3%, dan 0.8%. “Proses penelitian tidak usai begitu saja setelah formulasi, pengujian perlu dilakukan untuk menentukan kualitas dan efektivitas dari scaffold hidrogel ini,” imbuh Keanu.
Keanu menambahkan, inovasi yang mereka lakukan ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan pada bahan kimia impor, terlebih untuk bahan kimia sintetik yang biasanya digunakan dalam produksi peralatan dan material medis. “Harapan kita agar inovasi ini dapat menjadi dasar dari pengembangan lanjutan scaffold hidrogel ramah lingkungan melalui produksi skala industri,” harapnya.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : iStock dan Tim PKM