Indonesia adalah negara yang penuh keberagaman, dengan jumlah etnik lebih dari 700 yang mana masing-masing individu adalah indigenous people atau masyarakat adat. Keragaman etnik ini ternyata mempengaruhi kelainan bawaan pada penyakit mikrotia. Seperti diketahui, mikrotia adalah kelainan bawaan anak lahir dengan telinga berukuran kecil dan tidak sempurna.
Mahasiswa program doktor FK-KMK UGM, dr. Siti Isya Wahdini, Sp.Bp-RE (KKF) berhasil mengidentifikasi beberapa varian patogenik yang ditemukan pada pasien-pasien dengan mikrotia, khususnya dari populasi Indonesia. Melalui penelitiannya yang berjudul “Identifikasi Varian Genetik pada Penyakit Mikrotia dengan Next Generation Sequencing (NGS)”, Isya memaparkan bahwa mikrotia atau kelainan telinga luar merupakan complex genetic disorder sehingga kedokteran presisi bukan ke arah terapi gen, melainkan sebagai stratifikasi risiko dan juga Polygenic Risk Score (PRS) dan juga genetic counseling yang terkait pada pola pewarisan dan hubungan genotipe-fenotipe.
Sebagai klinisi bedah plastik rekonstruksi dan estetik, Isya merasa bahwa pemahaman mendalam mengenai proses genetika molekuler dari suatu kelainan merupakan hal yang esensial. “Dengan mengidentifikasi varian gen tertentu, kita dapat memperkirakan berapa kali lipat peningkatan risiko bagi keluarga pasien. Ke depannya, jika memungkinkan, penyusunan Polygenic Risk Score (PRS) atau skor risiko poligenik untuk kelainan ini perlu diwujudkan,” jelasnya, Rabu (22/10).
Ditemukannya teknologi NGS pada tahun 2003 mendorong keberadaan Whole Genome Sequencing (pengurutan genom) untuk dapat dilakukan dengan sangat singkat dan terjangkau serta sangat berpotensi ditemukan varian baru, termasuk varian patogenik yang terdapat pada mikrotia.
Selain itu, faktor lingkungan epigenetik yang diduga berperan di Indonesia adalah adanya status gizi ibu yang terutama kekurangan asam folat dan zinc. Kemudian, paparan pada masa kehamilan awal terhadap infeksi rubella dan sitomegalovirus (CMV), obat-obatan teratogenik seperti isotretinoin atau thalidomide, paparan zat kimia dan polusi udara berat, usia kehamilan yang terlalu muda, keterbatasan akses ke layanan kesehatan maternal, dan diabetes melitus gestasional.
Menurutnya, upaya pencegahan dan pendekatan holistik seperti promosi kesehatan ibu, imunisasi lengkap untuk mencegah infeksi rubella dan CMV selama kehamilan di masa depan, pemeriksaan kehamilan ANC (Antenatal Care) yang berkualitas, menghindari paparan berbahaya, melakukan edukasi tentang bahaya merokok ataupun konsumsi obat sembarangan dan paparan pestisida selama hamil. “Pendekatan konseling genetik juga diperlukan untuk mengatur ekspektasi yang dilakukan pada keluarga dengan anak mikrotia serta estimasi risiko berulangnya,” paparnya.
Setelah dinyatakan lulus dengan predikat Sangat Memuaskan, Guru Besar FK-KMK UGM sekaligus promotor pada ujian terbuka, Prof. dr. Gunadi Ph.D., Sp.BA., Subsp.D.A.(K)., menyatakan bahwa tahun 2025 ini sudah banyak sekali genomic medicine initiative dan ia merasa penelitian yang dilakukan oleh Isya sangat bersinergi dengan hal tersebut khususnya di Indonesia. Harapannya adalah mengenai perkembangan penelitian beserta roadmap dan anggapan terhadap proses ini sebagai tonggak pencapaian awal. “Selamat atas pencapaian yang luar biasa ini, semoga gelar doktor yg diraih menjadi awal dari kiprah yg lebih luas dalam penelitian, inovasi, dan pelayanan kedokteran berbasis genomik atau kedokteran presisi di Indonesia,” pungkasnya.
Penulis : Alena Damaris
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Pexels
