Indonesia memiliki potensi besar dalam perdagangan karbon hayati terutama dari sektor kehutanan, mangrove dan lahan gambut. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menyebut potensi perdagangan karbon Indonesia bisa mencapai Rp 41,7 triliun per tahun. Nilai itu dihitung dari penjualan 13,4 miliar ton CO2 ekuivalen dengan harga 5 dollar AS per ton.
Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Ir. Sigit Sunarta, S.Hut., M.P., M.Sc., Ph.D., IPU, mengatakan perdagangan karbon hutan merupakan salah satu pilar penting dalam mitigasi perubahan iklim, sekaligus peluang bagi sektor kehutanan untuk berkontribusi lebih besar pada pembangunan ekonomi berkelanjutan Indonesia.
“Potensi perdagangan karbon sebagai salah satu bagian dari transformasi paradigma dalam tata kelola sumber daya alam, khususnya kehutanan ini menjadi sangat penting dari berbasis ekstraksi menuju berbasis ekosistem,” kata Sigit dalam Business Matching bertajuk “Perdagangan Karbon Hutan: Sinergi Bisnis, Akademisi, dan Pemerintah untuk Aksi Iklim Indonesia” belum lama ini di Fakultas Kehutanan UGM.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari, Kementerian Kehutanan, Laksmi Wijayanti, menekankan bahwa perdagangan karbon yang dilakukan berbasis sukarela dan internasional tersebut harus mengutamakan kualitasnya. Menurutnya, pemerintah akan memastikan bahwa karbon hutan Indonesia satu dia adalah karbon yang betul-betul dihasilkan dari hasil mitigasi. “Semuanya bisa ditracking, bisa ditracing dan bisa dibuktikan, tidak menimbulkan kontroversi, bisa dipastikan dibagi benefitnya dengan adil, dan tentu saja semua proses-proses itu harus akuntabel,” ungkapnya.
Hermudananto, Ketua Pelaksana Business Matching sekaligus Ketua CDC-Forestry UGM mengatakan perguruan tinggi khususnya Fakultas Kehutanan perlu memperkuat sinergi lintas sektor untuk mempercepat implementasi perdagangan karbon hutan di Indonesia. “Perdagangan karbon bisa menjadi ruang strategis bagi dunia akademik dan industri untuk menjajaki kerjasama konkret dalam mendukung ekonomi karbon nasional,” ujarnya.
Sesi Talkshow menghadirkan pembicara lintas sektor yang mewakili pemerintah, dunia usaha, dan asosiasi kehutanan, antara lain Koordinator Pokja Kerja Sama Domestik NEK, Kementerian Lingkungan Hidup, Haryo Pambudi, S.Hut., M.Sc., Kepala Divisi Penyaluran Dana Program, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Lia Kartikasari, S.Hut., M.Eng., MMG; Direktur PT Menggala Rambu Utama, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Ir. Sugijanto Soewadi, IPU; dan Direktur Pengembangan Teknis & Bisnis Dassa (PT Merdeka Sejahtera Persada), Haryo Ajie Dewanto, S.Hut., M.S.
Menurut Hermudananto, para pembicara tersebut sepakat bahwa posisi strategis Indonesia sebagai penyedia kredit karbon global serta pentingnya menjaga kualitas dan akuntabilitas kredit karbon nasional. “Diperlukan penyiapan infrastruktur perdagangan karbon melalui proyek Partnership for Market Implementation (PMI) bersama Bank Dunia dan KLHK,” katanya.
Selain itu, direkomendasikan adanya kebijakan harmonisasi antara sistem perdagangan karbon domestik dan global, penguatan tata kelola, serta pengembangan metodologi proyek karbon yang transparan dan berkeadilan.
Penulis : Salwa
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik dan Dok. Fakultas Kehutanan
