Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diharapkan mampu menjaga peran pengawasan publik di tengah disrupsi algoritmik yang semakin kompleks. Pasalnya terdapat ketimpangan regulasi antara media konvensional dan platform digital. Oleh karena itu diperlukan pembaruan kebijakan, sebagai upaya memperkuat keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial dalam ruang siar.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) Edisi 25 bertajuk Regulasi Penyiaran Konvensional dan Digital di Kampus Fisipol UGM, Jumat (31/10) lalu. Dalam Diskusi yang diselenggarakan Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada kali ini menghadirkan tiga narasumber yakni anggota Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat periode 2022–2025 Evri Rizqi Monarshi, M.Sos, Sekretaris Jenderal Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Drs. Gilang Iskandar, M.M., dan Kepala Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM Dr. Rahayu.
Evri Rizqi menegaskan KPI berjuang untuk mempertahankan peran pengawas publik di tengah disrupsi digital yang menuntut regulasi adaptif. “Kita akan menjembatani jurang regulasi antara media konvensional yang diatur ketat dan platform digital yang bebas regulasi,” ujarnya.
Dosen Ilmu Komunikasi Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM, Dr. Wisnu Martha Adiputra, S.I.P., M.Si., mengatakan perkembangan media saat ini kian bergeser ke ranah digital, sehingga menuntut adanya perspektif baru dalam memandang dunia penyiaran. Menyadari pentingnya ruang refleksi atas perubahan tersebut, “Kita perlu membangun kesadaran kolektif terhadap isu publik, terutama dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial di ruang siar,” paparnya.
Hazwan Iskandar Jaya, S.P., M.M., selaku Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) D. I. Yogyakarta terhadap penyelenggaraan Diskoma sebagai wadah dialog antara akademisi, regulator, dan mahasiswa. Forum ini, disebutnya, sebagai bentuk nyata kanthi pawiyatan sebuah pertemanan dalam ruang belajar yang diharapkan memperkuat sinergi antara dunia pendidikan dan lembaga penyiaran.
Gilang Iskandar mengungkap adanya beban regulasi yang timpang telah menekan daya saing lembaga penyiaran nasional. Fakta memperlihatkan televisi konvensional diwajibkan memenuhi berbagai ketentuan administratif dan finansial, sementara platform digital global beroperasi tanpa batas. Menyikapi kondisi ini, menurutnya, diperlukan keberanian politik untuk merevisi paradigma hukum penyiaran agar lebih adil dan relevan dengan ekosistem media yang konvergen.
“Regulasi penyiaran saat ini menciptakan ketidakadilan yang parah bagi TV konvensional karena dibebani kewajiban berat, sementara platform digital global beroperasi tanpa diatur. Hal ini tentu mengancam keberlanjutan industri dan menuntut rekonstruksi hukum untuk menyamakan kewajiban bagi semua pelaku media,” ucap Gilang.
Penulis : Agung Nugroho
