Pers bagian dari pilar keempat demokrasi. Namun dalam kenyataannya, dunia pers saat ini mengalami dilema di tengah arus digitalisasi dan perubahan pola masyarakat dalam mengakses informasi. Sementara perlindungan pers masih minim. Termasuk pers mahasiswa. Pasalnya pers mahasiswa menjadi tempat berkembangnya pemikiran kritis dan melahirkan sosok yang berpihak pada mereka yang terpinggirkan.
Jurnalis Tempo Francischa Christy atau lebih akrab disapa Chicha, menjelaskan situasi dan posisi pers hari ini tidak mudah. Dari pers yang harus berhadapan dengan penegak hukum hingga tekanan pada pers yang kritis. “Tekanan ini bentuknya macam-macam, pers yang kemudian peran-peran bisnisnya ditutup. Namun, bagi kami integritas adalah yang paling mahal harganya, ” ungkapnya dalam seminar yang bertajuk ‘Reorientasi Pers Mahasiswa’ yang diadakan pada Sabtu (1/11) di Auditorium Lantai 4 Fisipol UGM.
Kondisi ini menurut Chica menjadi tantangan yang serius bagi pers atau pun pers mahasiswa untuk senantiasa menjadi media penegak kebenaran. Sebab, pembatasan penyebaran berita yang terjadi pada masa kini atau disebut dengan swasensor menjadi tantangan yang serius bagi pers. Chicha menegaskan bahwa tekanan yang dilakukan oleh pemerintah atau para pemodal tersebut dapat menentukan arah berita. Perlakuan swasensor akan menutupi fakta-fakta yang ada sehingga dapat disimpulkan bahwa akan terjadi kegagalan pada demokrasi. “Bahayanya adalah masyarakat akan dihadapkan dengan berita-berita yang tidak sebenarnya,” ungkapnya.
Pendiri Project Multatuli, Evi Mariani mengatakan kebebasan pers di negara ini masih sangat kurang. Ia menyebutkan, dalam kurun waktu lima tahun, antara 2014-2019 terdapat lima kasus tekanan yang terjadi pada pers mahasiswa yang kelimanya ditekan oleh rektorat. Hal ini menunjukkan perlindungan pers mahasiswa masih sangat minim. Evi berharap bahwa pers mahasiswa tetap bisa menjadi ruang berkembangnya pemikiran kritis, melahirkan sosok yang berpihak pada mereka yang terpinggirkan. “Semoga beberapa tahun mendatang teman-teman persma yang ada di sini masih konsisten dengan kekritisannya,” terangnya.
Sementara Budayawan Taufik Rahzen menceritakan soal sejarah pers di Indonesia terbentuk yang dimulai dari Negarakertagama, Tirto Adhi Soerjo, hingga Tan Malaka. Melalui ketiga tokoh tersebut, ia menegaskan jika pers yang dibutuhkan Indonesia hari ini adalah imajinasi dan kepercayaan. “Tugas utama pers adalah membangun imajinasi dan menciptakan kepercayaan pada masyarakat,” ungkapnya.
Imajinasi tersebut yang kemudian dibutuhkan oleh pers mahasiswa. Ia meyakini bahwa pers mahasiswa hadir untuk mengekspresikan berbagai hal dengan sebebas-bebasnya, tanpa takut salah.
Pimpinan Redaksi BPPM Balairung, Aghli Maula Hasby, mempertanyakan peran pers mahasiswa yang disebut pantas mewakili suara rakyat kecil, sementara mereka sendiri adalah bagian dari kelompok berpendidikan dan berprivilege. “Dengan mengakui kedaulatan tiap-tiap subjek, pers mahasiswa kemudian tak lagi menjadi representasi atas apapun. Ia hadir semata sebagai pewarta yang rendah hati, yang siap menjadi corong untuk tiap-tiap suara. Selama pers mahasiswa terus mengaku sebagai juruselamat dengan corak narsisisme yang akut, alih-alih memperbaiki budaya kerja yang eksklusif dan eksploitatif, selama itu juga pers mahasiswa melanggengkan penindasan,” terangnya.
Penulis : Salwa
Editor : Gusti Grehenson
