Jumlah penduduk RI per 30 Juni 2025 sebanyak 286,6 juta jiwa, dimana usia produktif 15-64 tahun sebesar 69,51 persen menjadi modal dalam menggerakkan roda pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan keberlanjutan. Meski begitu, pembangunan berkelanjutan tidak dapat hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi semata. Diperlukan dimensi sosial dan lingkungan harus berjalan beriringan agar proses pembangunan tidak menghasilkan kerusakan ekologis yang justru merugikan masyarakat.
Dosen Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan sekaligus Direktur Kemahasiswaan UGM,Dr. Hempri Suyatna, S.Sos., M.Si., mengatakan Indonesia memiliki potensi besar dalam mendorong pembangunan berkelanjutan dengan 38 persen penduduknya merupakan generasi muda. Namun, diperlukan edukasi dan kerja keras untuk mengajak anak muda mengubah perilaku konsumtif menjadi produktif.
“Kita perlu mengubah stigma bahwa anak muda hanya konsumtif. Mereka justru memiliki kemampuan transformasi, digital mindset, dan energi futuristik yang bisa dikombinasikan untuk memecahkan isu-isu sosial dan lingkungan,” ujar Hempri di Talkshow Ultimate Fest yang bertajuk ‘Menanam Harapan Menumbuhkan Aksi, Generasi Muda untuk Indonesia Berkelanjutan’, Selasa (12/11) di University Club UGM.
Hempri menekankan pentingnya habituasi, edukasi berkelanjutan, serta kolaborasi lintas sektor untuk membentuk generasi muda yang produktif, visioner, dan peduli pada keberlanjutan.
Enrico David Tarigan, perwakilan dari Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan, Kementerian Keuangan RI, menyoroti tantangan nyata yang sedang dihadapi generasi muda: kompleksitas global, kesenjangan keterampilan, dan perubahan pasar kerja. Menurutnya, transisi menuju ekonomi hijau menciptakan peluang sekaligus menuntut kemampuan baru. “Ada kesenjangan antara idealisme dan praktik karena kurangnya pengalaman dan sumber daya, termasuk akses pembiayaan. Namun kami yakin generasi muda adalah penggerak utama transisi ekonomi hijau,” ungkapnya.
Ia menjelaskan berbagai upaya Kementerian Keuangan dalam mendorong transformasi ekonomi rendah karbon, mulai dari pengembangan green taxonomy, kolaborasi proyek riset, hingga penyediaan ruang literasi dan jejaring melalui Ultimate Fest. “Kami butuh energi muda, keberanian Gen Z untuk berpendapat dan terlibat,” tutupnya.
Sesi diskusi Talkshow yang merupakan hasil kerja sama antar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI dengan Sekretariat Universitas (SU) UGM ini menghadirkan beberapa pembicara diantaranya, Dosen Biologi UGM Dr. Eko Agus Suyono, Direktur Program New Energy Nexus Indonesia, Diyanto Imam, CEO Kebun Kumara, Siti Soraya Cassandra dan Analis Kebijakan Kemenkeu RI, Prama Wiratama.
Dari perspektif akademik, Eko Agus Suyono, memperkenalkan potensi mikroalga sebagai solusi lingkungan berbasis bioteknologi. Ia menjelaskan bahwa mikroalga memiliki lebih dari 50.000 spesies yang hidup di berbagai wilayah perairan Indonesia. “Mikroalga dapat menjadi solusi ekonomi dan ekologi melalui proses biorefinery, yang memungkinkan satu biomassa menghasilkan beragam produk bernilai tinggi—mulai dari pangan, pakan, energi hingga bahan kimia,” jelasnya. Selain menghasilkan produk bernilai ekonomi, mikroalga juga memiliki kemampuan menyerap CO₂, meskipun skalanya perlu terus ditingkatkan dalam penelitian lanjutan.
Diyanto Imam menambahkan perspektif sektor usaha dalam pembahasan energi bersih. Ia menyoroti minimnya diskusi mengenai peran wirausaha sebelum 2019, padahal esensi bisnis adalah kreativitas dan inovasi. Melalui Kinetik Next, komunitas yang ia inisiasi, Diyanto mendorong generasi muda untuk berani mengembangkan gagasan dan solusi bisnis kreatif demi masa depan Indonesia. “Kita ingin mengajak generasi muda berani berpikir dan mengambil peran,” tegasnya.
Sementara itu, Siti Soraya Cassandra menekankan pentingnya menciptakan keterhubungan masyarakat kota dengan alam. Ia menjelaskan bahwa edukasi lingkungan harus membumi dalam praktik sehari-hari, termasuk melalui aktivitas sederhana seperti berkebun, mengenal tanaman, hingga memanen. “Keberlanjutan harus hadir dalam keseharian. Tradisi Nusantara pada dasarnya sangat dekat dengan alam, dan kita perlu menghidupkan kembali nilai itu,” jelasnya. Ia mengajak mahasiswa untuk belajar dari alam, komunitas, dan pengalaman nyata sehingga kemampuan reflektif, empati, dan kesadaran lingkungan tumbuh secara organik.
Analis Kebijakan pada Direktorat Kerja Sama Multilateral dan Keuangan Berkelanjutan Kemenkeu RI, Prama Wiratama, memberikan gambaran besar mengenai kebutuhan investasi untuk mencapai target Indonesia Emas 2045. Ia menyebut bahwa untuk menjalankan program penurunan emisi, Indonesia memerlukan sekitar Rp400 triliun per tahun. Namun, APBN baru mampu memenuhi sekitar 13 persen dari kebutuhan tersebut.
Penulis : Kezia dan Hanifah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Aldi
