Indonesia tercatat sebagai negara dengan spesies ular terbanyak ketiga di dunia, yakni 376 spesies. Banyaknya jumlah spesies meningkatkan risiko gigitan ular, dan hingga Oktober 2025 tercatat 8.721 kasus dengan 25 kematian. Di tengah krisis ketersediaan serum antibisa, hadir terobosan antibodi llama dan alpaka yang dinilai mampu membantu penanganan medis. Inovasi ini selaras dengan riset dalam negeri yang mulai mengembangkan serum antibisa modern serta karakterisasi bisa ular lokal untuk memperkuat kesiapan Indonesia menghadapi ancaman kasus gigitan ular.
Dosen Fakultas Biologi UGM, Donan Satria Yudha, S.Si., M.Sc., menjelaskan bahwa kemajuan riset tersebut menunjukkan kemampuan peneliti dalam memanfaatkan organisme, termasuk hewan, sebagai sumber solusi kesehatan. Ia menilai antibodi pada llama dan alpaka terbukti efektif membantu penyembuhan korban gigitan ular berbisa. “Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa kecelakaan akibat gigitan ular bukan lagi neglected disease, karena semakin banyak peneliti peduli dan mengembangkan antibisa dengan efektivitas tinggi,” paparnya, Jumat (14/11).
Meski demikian, Donan menyebut bahwa pengembangan serum antibisa di Indonesia masih belum signifikan. Perkembangan baru terlihat tiga tahun terakhir melalui inisiatif penelitian dari BRIN, Kementerian Kesehatan, dan berbagai perguruan tinggi. Indonesia hingga kini hanya memiliki satu tipe serum antibisa polivalen, sehingga dibutuhkan pengembangan serum yang dapat menangani gigitan berbagai spesies ular berbisa. Di UGM, Donan menyebut adanya tim Venom Research Group yang terdiri dari dosen lintas fakultas dan telah menyelesaikan penelitian karakterisasi bisa (profiling venom) pada ular kobra jawa (Naja sputatrix). “Penelitian tersebut sudah selesai dan akan dilanjutkan dengan spesies ular berbisa lainnya,” ungkapnya.
Tantangan lain dalam pengembangan serum antibisa muncul dari kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan. Setiap wilayah memiliki spesifikasi ular berbisa yang berbeda, sehingga sulit menentukan komposisi serum yang cocok untuk seluruh daerah. Selain itu, fasilitas snake farm yang belum memenuhi standar internasional menyulitkan ketersediaan venom yang stabil untuk kebutuhan penelitian.
Dalam penanganan kasus gigitan ular berbisa, Donan menekankan pentingnya langkah imobilisasi untuk membatasi pergerakan area tubuh yang terkena gigitan. Ia menambahkan bahwa metode bantalan tekan dapat diterapkan sebagai pertolongan awal pada kondisi darurat. Menurutnya, menenangkan korban juga menjadi bagian penting agar racun tidak menyebar lebih cepat di dalam tubuh. “Setelah itu korban bisa segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan,” jelasnya.
Terobosan antibodi llama dan alpaka yang mampu menjangkau 17 spesies ular dinilai memberikan angin segar bagi dunia riset dan kesehatan. Donan berharap inovasi tersebut dapat dikembangkan secara massal, khususnya di negara dengan tingkat kematian akibat gigitan ular yang tinggi seperti Indonesia. “Inovasi ini saya harap dapat diproduksi massal dan menjangkau masyarakat kita, khususnya petani, peladang, dan orang-orang yang bekerja di hutan,” pungkasnya.
Penulis: Cyntia Noviana
Editor: Triya Andriyani
Foto: Freepik
