Transisi energi menjadi agenda penting dalam upaya global mengurangi emisi karbon. Namun, sejumlah proyek yang dijalankan belum sepenuhnya mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi keberlanjutan lingkungan. Salah satu contoh yang mencuat adalah proyek geothermal di Wae Sano, Flores, yang memerlukan lahan berisi rempah-rempah bernilai tinggi seperti cengkeh, vanili, dan kopi. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran karena penggunaan lahan produktif tanpa perhitungan ekologis akan berdampak pada kehidupan generasi mendatang.
Isu tersebut mengemuka dalam Grand Launching Majalah Equilibrium 2025 bertajuk ‘Diskusi Publik: Bumi di Tepian Neraca’ pada Minggu (16/11) silam di The Alana Hotel & Conference Center Malioboro, Yogyakarta. Edisi 2025 dengan tema ‘Ketika Bumi Tak Lagi Kuat, dan Manusia Tak Lagi Ingat’ mengangkat pergulatan ekonomi, sosial, dan lingkungan di berbagai wilayah Indonesia.

Acara ini menegaskan kembali pentingnya menjadikan keberlanjutan bumi sebagai prioritas, bukan sekadar catatan tambahan dalam perumusan kebijakan. Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan FEB UGM, Bayu Sutikno, S.E., M.S.M., Ph.D., menyampaikan bahwa tema yang diangkat merupakan ajakan untuk membangun cara hidup yang lebih cerdas. “Membuat kehidupan menjadi cerdas, smart living dari segi edukasi, finansial, kesehatan, itulah misi utama kita,” ucapnya.
Senada dengan itu, Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menyatakan bahwa tantangan terbesar berasal dari perilaku manusia sendiri. Kebijakan pelestarian alam tidak akan berjalan efektif jika tidak diiringi perubahan cara pandang masyarakat. “Saya kira melakukan suatu rekonstruksi sosial merubah pola pikir orang itu juga penting sekali,” ujarnya.
Direktur dan Pendiri CELIOS, Bhima Yudhistira, memaparkan berbagai proyek seperti biodiesel dan etanol yang meski dihadirkan sebagai solusi, berpotensi memunculkan masalah baru. Ia mencontohkan risiko deforestasi yang meningkat akibat pembukaan lahan di Papua dan Kalimantan jika tidak dilakukan secara terkendali. Menurutnya, transportasi publik justru menjadi solusi paling tepat dalam konteks pengurangan emisi. “Sumber daya alam itu bukan untuk dikeruk tetapi untuk dikonservasi karena punya nilai,” tuturnya. Ia juga menegaskan bahwa Indonesia masih kekurangan political will untuk memastikan generasi mendatang memperoleh kehidupan layak dan terlindungi dari bencana.

Sejalan dengan itu, Gita Wirjawan menyoroti kesulitan negara berkembang dalam mendistribusikan layanan publik secara merata. Ia menjelaskan bahwa adanya kebijakan yang tidak selaras dengan opini publik turut memengaruhi efektivitas pelayanan. Harapannya, negara-negara seperti Indonesia, India, Laos, dan Malaysia dapat menghadirkan demokrasi yang lebih substantif dalam konteks akses pendidikan, kesehatan, intelektual, dan kesejahteraan sosial.
Pendiri Bumi Langit Institute, Iskandar Waworuntu, menyampaikan bahwa akar dari berbagai krisis lingkungan adalah krisis akhlak manusia. Ia menekankan bahwa manusia seharusnya menjalankan peran sebagai penjaga alam, bukan penguras sumber daya. Permakultur yang ia tekuni memandang bumi secara menyeluruh, bukan terpisah-pisah. “Landasan kita berpijak itu menyatukan banyak disiplin yang berbasis pada etika, moral, dan akhlak manusia,” pungkasnya.
Penulis: Jesi
Editor: Triya Andriyani
Foto: Salwa
