Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No.8 Tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi UU oleh DPR menjadi topik menarik diskusi Pojok Bulaksumur, Kamis (20/11) di Selasar Gedung Pusat UGM. Menjadi topik menarik karena dengan pengesahan oleh DPR pada akhirnya menimbulkan beragam respons di tengah masyarakat.
Tidak sedikit kalangan menilai RUU KUHAP yang di sahkan oleh DPR cenderung masih menyisakan pertanyaan menyangkut beberapa istilah dalam UU tersebut. Seperti upaya paksa yang bersinggungan dengan penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan, sementara mekanisme kontrol yang tersirat lemah dalam UU tersebut.
Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M., pakar Hukum Pidana UGM mengatakan dalam konteks penyitaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan, istilah-istilah yang ada di UU tersebut tidak memiliki perbedaan yang substantif dengan KUHAP tahun 1981 sebelumnya. “Tidak memiliki perbedaan mendasar. Tapi itu kelemahannya, seharusnya dalam pembaharuan hukum pidana terdapat pembaharuan yang lebih mengedepankan HAM. Berbicara koalisi masyarakat sipil tentu berkaitan dengan hak asasi manusia. Seharusnya ada judicial seperti ini, setiap penangkapan, penahanan itu semestinya ada keputusan dari Pengadilan Negeri. Hal-hal semacam itu yang belum diakomodir oleh KUHAP baru, padahal sebenarnya sudah ada di dalam KUHAP sebelumnya,” ujarnya. 
Akbar pun menyinggung soal kewenangan penyadapan yang diatur pada KUHAP. Sesuai dengan putusan MK, maka penyadapan semestinya diatur secara lebih rinci, sebab tanpa undang-undang lebih lanjut penyadapan tidak boleh dilakukan. “Nampaknya KUHP baru ini tidak menjelaskan secara eksplisit bahwa penyadapan dilarang sebelum ada undang-undang. Bagaimanapun melakukan perekaman diam-diam, penyadapan itu ada pengaturannya dan harus mengacu kepada undang-undang begitu,” terang Akbar.
Sementara itu, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, S.I.P., M.A memandang pengesahan atas undang-undang tersebut secara politik menimbulkan respon publik sangat beragam. Sebagian besar dari masyarakat bahkan menilai pengesahan RUU KUHAP oleh DPR membuka celah dan potensi penyalahgunaan.
Dengan pengesahan ini, Bagus menilai masyarakat justru cenderung skeptis. Realitas dilapangan selama ini telah banyak yang tidak dipatuhi prosedurnya karena ada kewenangan-kewenangan baru yang ditambahkan. “Tendensi masyarakat sipil kepada isu-isu politik jelas ada, karena mereka juga melihat banyak sekali aktor yang berkepentingan terhadap golnya rancangan undang-undang ini, seperti kepolisian, kejaksaan, hakim, bahkan sampai komisi tiga DPR RI juga semua berkepentingan terhadap isu ini,” ungkapnya. 
Alfath menilai dengan kasus disahkannya RUU KUHAP ini menjadikan semuanya abstrak dan sulit untuk bisa dipahami. Realitas politik yang terjadi, justru membuat masyarakat letih dan akhirnya mereka pun mengasingkan diri dari urusan politik. “Sudah banyak sekali pemberitaan dari realitas di lapangan yang membuat masyarakat pada akhirnya lebih memilih mengalienasikan diri dari sistem sosial politik kita,” jelasnya.
Fenomena depolitisasi politik yang terstruktur, kata Bagus Alfath, memang membuat masyarakat semakin bebas namun menjadikannya justru menjauh dari pendidikan politik yang kritis. Dimasyarakat, katanya, telah terjadi penurunan kemampuan yang menjadikannya tidak peduli akan kasus pengesahan RUU KUHAP.
Meski semakin sempit, Bagus Alfath mengingatkan jika masyarakat sipil tetap memiliki ruang untuk bersuara. Oleh karena itu, penting untuk kembali menguatkan soal pendidikan politik, kewarganegaraan, hukum, dan kesadaran, sebab menjadi warga negara haruslah paham hak dan kewajiban. “Saat ini sedikit regenerasi baru yang tertarik menjadi aktor penengah antara negara dan masyarakat. Ini menjadi problem yang saya kira sangat besar. Kenyataan partisipasi publik yang luas itu akhir-akhir ini cenderung dangkal. Mereka fomo, kemudian banyak terjebak di media sosial,” terangnya.
Penulis : Salwa
Editor : Agung Nugroho
Foto : Firsto
