Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) kini menjadi satu-satunya kucing besar yang tersisa di Pulau Jawa setelah harimau jawa dinyatakan punah. Sebagai predator puncak, keberadaannya menjadi indikator kesehatan ekosistem hutan. Namun, penurunan populasi dan fragmentasi habitat membuat status satwa endemik ini masuk kategori Critically Endangered menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN). Kondisi tersebut menempatkan macan tutul jawa dalam situasi yang semakin genting dan membutuhkan perhatian lintas sektor.
Dosen Fakultas Biologi UGM sekaligus ahli DNA forensik satwa liar, Dr. Dwi Sendi Priyono, S.Si., M.Si., menilai bahwa penurunan populasi macan tutul jawa tidak bisa lagi dipandang sebagai fenomena biasa. Ia menegaskan bahwa status endemik dan populasi yang kecil membuat spesies ini sangat rentan terhadap gangguan demografis, genetik, hingga tekanan manusia. “Pendekatan respons yang integratif, mulai dari perlindungan habitat, mitigasi konflik, penegakan hukum, keterlibatan masyarakat, serta pemantauan ilmiah, diperlukan segera untuk mencegah penurunan lebih lanjut dan potensi kepunahan lokal,” jelasnya, Selasa (24/11).
Populasi macan tutul jawa diperkirakan hanya sekitar 319 individu dengan kurang dari 50 ekor dewasa. Kondisi ini semakin rumit karena satwa tersebut juga ditemukan di wilayah non-kawasan lindung, membuat distribusinya bersifat mosaik. Sendi menjelaskan bahwa pendataan populasi secara akurat masih menjadi tantangan karena sifatnya yang elusif. Saat ini tengah berlangsung Java-Wide Leopard Survey (JWLS), sebuah survei komprehensif menggunakan camera trap dan analisis genetik. “Itu merupakan metode pemantauan yang komprehensif,” ujarnya.
Sejumlah faktor utama mempercepat keterancaman satwa ini, mulai dari hilangnya habitat akibat konversi lahan, konflik manusia–satwa, hingga perburuan ilegal dan perdagangan yang melibatkan bagian tubuh karnivora tersebut. Penurunan populasi mangsa juga menjadi ancaman serius mengingat beberapa satwa mangsa seperti babi hutan turut terdampak wabah African Swine Fever (ASF). “Faktor lain adalah penurunan ketersediaan mangsa karena overhunting atau wabah penyakit pada spesies mangsa,” paparnya.
Menanggapi persoalan tersebut, Sendi menilai strategi konservasi yang paling efektif ialah pendekatan In Situ pada skala lanskap mengingat macan tutul jawa hidup berdampingan dengan manusia. Upaya ini perlu dilakukan dengan melindungi patch habitat kunci, memperkuat jejaring kawasan lindung, serta mengelola wilayah non-lindung agar tetap fungsional sebagai habitat satwa liar. Ia juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas penegakan hukum, monitoring ilmiah, dan perencanaan berbasis sains. “Jadi, strategi konservasi In Situ diutamakan, Ex Situ sebagai pilihan pelengkap jika diperlukan,” katanya.
Sebagai penutup, Sendi menegaskan bahwa penyelamatan macan tutul jawa membutuhkan pendekatan konservasi yang multisektoral dan berjangka panjang. Kolaborasi akademisi, penegak hukum, pengelola kawasan, dan masyarakat dipandang penting untuk mencegah kepunahan predator paling ikonik di Jawa tersebut. “Karnivora terbesar Pulau Jawa ini jangan sampai punah seperti harimau jawa atau harimau bali yang kini tidak dapat lagi kita saksikan secara langsung sebagai salah satu ‘kado’ alam untuk Indonesia,” pesannya.
Penulis: Alena Damaris
Editor: Triya Andriyani
Foto: Antara
