Kehadiran Walikota Yogyakarta, Dr. (H.C.) dr. H. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) ke Kampus UGM kali ini terasa istimewa. Secara khusus kedatangannya kali ini memberi bekal pengalaman kepada ribuan calon wisudawan Program Sarjana dan Sarjana Terapan Periode I Tahun Akademik 2025/2026. Tentu tidak banyak orang tahu bagaimana proses perjalanan alumnus Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat Keperawatan UGM tahun 1989, ini meniti karir hingga membawanya menjadi Bupati Kulon Progo dua periode, Kepala BKKBN, dan kembali lagi ke Yogyakarta menjabat sebagai Walikota.
Gelar Sp.OG (K) dibelakang namanya menunjukan ia seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan (Obsteri dan Ginekologi) yang memiliki sub-spesialisasi di bidang fertilitas dan endokrinologi reproduksi. Meski menjadi pejabat publik di Yogyakarta saat ini, namun sebagai lulusan fakultas kedokteran ia tetap setia menjalankan praktik dokter untuk melayani masyarakat. “Ceritanya dulu setelah lulus menjadi dokter di tahun 1989 dari UGM, saya memilih mengabdi di daerah pelosok dan terpencil dibanding harus bekerja di kota,” ujarnya di Grha Sabha Pramana, Senin (25/11) mengawali kisah perjalanan hidupnya.
Sewajarnya bagi banyak orang dalam bekerja tentu pinginnya bekerja di tempat yang enak dan nyaman. Tidak untuk seorang Hasto Wardoyo, ia justru mengawali karir sebagai dokter melayani masyarakat di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sebuah lokasi yang sungguh terpencil saat itu.
Hasto mengaku jiwa berpetualang begitu kuat ia miliki, dan keinginan kental mengabdi di pelosok yang diperolehnya dari UGM semakin memantapkan tekadnya. “Tidak umum memang, tapi begitulah dan saat itu saya mantap memilih berkarya di daerah terpencil, dan benar saja saya kemudian ditugaskan di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur,” ucapnya.
Melayani kesehatan masyarakat di hulu Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, disebutnya, menambah pengalaman seru di dalam bekerja. Di setiap harinya, aku Hasto, harus naik perahu ketika harus melayani masyarakat. Pengalaman seru pun ia dapatkan ketika harus menyuntik pasien dari kapal ke kapal. “Dari kapal sebelah mereka menyodorkan tubuhnya, dan saya suntik dari kapal yang saya tumpangi. Lima tahun seperti ini saya jalani, saat itu digaji hanya 61 ribu rupiah per bulan. Itu kira-kira di tahun-tahun 1990-an,” ucapnya.
Hasto tentu akan selalu mengingat kenangan pertamanya bekerja di pedalaman. Semangat UGM yang merakyat telah membuatnya menerima semua tugas dengan rasa syukur. Bagi Hasto, pengalaman mengabdi selama lima tahun telah mengajarkannya banyak hal. Pengalaman itu membuka cakrawalanya semakin luas bahwa pelayanan kesehatan di lapangan tak selalu ideal seperti yang dibayangkan. “Dipedalaman akses sulit, transportasi terbatas, dan kondisi pasien sering memprihatinkan. Namun prinsip harus tetap sama, mengabdi tetap dilakukan, tanpa hitung-hitungan soal imbalan. Saya percaya, jika kita memberi tanpa pamrih, Allah akan mengganti dengan sesuatu yang tak terduga,” ungkapnya.
Menjadi dokter spesialis tetap sebagai pilihan profesi yang akan dan terus ditekuni Hasto Wardoyo. Total hampir 20 tahun hidupnya dihabiskan untuk belajar dan mengabdi di bidang ini, dan dari ketekunannya ia menyadari belajar tidak akan pernah selesai seumur hidup.
Jejak pengabdian dan aktif dalam bermacam organisasi membawa Hasto menjabat Bupati Kulon Progo selama dua periode 2011-2016 dan 2017-2019. Kesempatan memimpin daerah semakin memperluas pengalaman dan pengabdiannya, dan dua periode menjabat Bupati Kulon Progo ia menekankan pentingnya soal kemandirian ekonomi rakyat. Bersama masyarakat ia berhasil membangun industri lokal dan UMKM diantaranya memproduksi air minum sendiri bermerk “AirKu”, produki batik, beras, kopi, dan juga konblok. Iapun berhasil mendorong sistem koperasi dengan mengubah sistem waralaba modern menjadi Toko Milik Rakyat (Tomira). 
Sebagai pemimpin, Hasto dikenal seorang pemegang prinsip kuat melawan kapitalisme. Ia mengajarkan dalam usaha keuntungan harus menyebar dan memberi manfaat bagi banyak orang, bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang. “Apalah artinya membangun start up yang menyedot uang dari masyarakat, namun tanpa memberdayakan mereka. Maka buatlah usaha yang mampu mengangkat banyak orang miskin keluar dari lingkar kemiskinan,” pesannya.
Karena itu, di akhir pembekalan kepada calon wisudawan, ia menekankan pentingnya bekerja dalam tim. Dengan bekerja secara tim, katanya, akan membawa hasil yang lebih besar dan kepada calon wisudawan juga dipesankan untuk tidak boleh berhenti membaca. “Meski perkuliahan telah berakhir tidak berarti kewajiban belajar juga berhenti.Teruslah tetap membaca dan belajar karena dari itu akan membantu kehidupan nantinya,” tandasnya.
Penulis: Leony
Editor : Agung Nugroho
Foto: Fristo
