Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah resmi disahkan oleh DPR menjadi undang-undang. Selama proses pengesah, beragam respons dari masyarakat berdatangan. Tidak sedikit dari mereka merasa “was-was” atas pengesahan ini, dan mereka menilai dengan pengesahan ini membuka ruang terhadap penyalahgunaan wewenang.
Dosen dan Pakar Hukum Pidana UGM, Dr. Sigid Riyanto, S.H., M.Si. turut merasakan kecemasan terhadap pengesahan ini. Menurutnya segala hal baru harus selalu diwaspadai dan dipelajari. “Pertama, kita secara bersama menyiapkan diri, dan kita juga harus melihat bahwa yang namanya hukum itu tidak akan sempurna. Yang kedua, semua sudah ada mekanismenya, sehingga setiap kali ada pelanggaran hukum selalu ada mekanismenya” ungkapnya di Fakultas Hukum UGM, Rabu (26/11).
Berbagai respons yang datang dari masyarakat perihal KUHAP baru ini, dalam pandangan Sigid, semua sebagai bagian dari proses demokrasi. Sebagai bagian dari sebuah proses demokrasi diharapkan ruang diskusi harus tetap dibuka untuk memberi kesempatan mereka melakukan kritik atau masukan. Secara pribadi, ia mengaku menghormati keduanya, baik para pembuat kebijakan maupun masyarakat.
Para pihak terkait yang mengikuti proses pembuatan UU tersebut, dinilainya telah melakukan proses sesuai mekanisme hukum yang ada. Meski harus diakui segala bentuk produk hukum yang dihasilkan tidak selalu bisa memenuhi rasa puas masyarakat. Oleh karena itu, ia meyakini bahwa sikap yang harus dibangun dan dilakukan adalah tetap mengikuti prosesnya sembari tetap memberi kritik.
Terkait kemungkinan muncul celah terhadap penyalahgunaan kewenangan, Sigid menyebut ada tiga hal yang dapat mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia, yaitu soal legal substance, legal culture, dan legal structure. Legal structure berbicara soal sumber daya manusia yang memiliki kemampuan intelektual, dan yang lebih penting lagi soal moralitas. Sementara itu, ia berharap ada perbaikan dari sisi budaya hukum. Ia sangat berharap masyarakat memperbaiki sikap agar bisa mematuhi hukum di saat Indonesia memiliki banyak persoalan. “Saya kira sumber daya manusia dari sisi moral lebih penting karena hukum sebaik apapun kalau dilaksanakan oleh orang yang tidak memiliki dedikasi secara hukum tidak ada gunanya,” ungkapnya.
Menanggapi respons masyarakat terkait pasal karet yang tertuang dalam KUHAP baru, Sigid menyatakan undang-undang hukum pidana merupakan norma yang mengatur soal sesuatu yang diperbolehkan dan dilarang. Oleh karena itu, hukum yang berlaku telah jelas diatur dalam undang-undang. Jika melanggar tentu akan mendapat konsekuensinya. “Kalau tidak sesuai dengan aturan hukum kita punya hak untuk mempertahankan, supaya hak kita itu tetap dihitung. Kalaupun nanti prakteknya berbeda dengan teori, seperti saya katakan tadi, para penegak hukum diharapkan tidak mengabdi kepada penguasa, tapi mengabdi untuk kepentingan negara,” terangnya.
Sementara itu, menanggapi soal kepercayaan masyarakat terkait peradilan pidana, Sigid menjelaskan langkah penggunaan asas diferensiasi fungsional untuk KUHAP sudah tepat. Sebab, melalui sistem tersebut diharapkan masing-masing lembaga memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai dengan dengan apa yang diserahkan oleh negara kepada lembaga-lembaga yang bersangkutan. “Jadi memang, untuk negara yang maju seharusnya diferensiasi fungsional itu menjadi penting. Jangan sampai nanti ada suatu lembaga yang otoritasnya itu banyak sekali. Nah, agar tidak terjadi hal tersebut, masing-masing lembaga ditempatkan sesuai dengan kewenangan dari lembaga-lembaga masing-masing,” tuturnya.
Penulis : Salwa
Editor : Agung Nugroho
Foto : Amnesty International Indonesia
