![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2019/11/14111915737185241739725426-765x510.jpg)
Untuk meneguhkan jati diri UGM sebagai Universitas Pusat Kebudayaan dan dalam rangka mengangkat kembali jejak keteladanan sosok Gajah Mada, sejak tahun 2017 telah dirintis pembuatan Wayang Gajah Mada yang melibatkan sivitas akademika UGM dan alumni UGM. Pembuatan wayang ini sejak dari mendesain, membuat pola, mengeksekusi di kulit kerbau (menatah), mewarnai (menyungging), dan memasang pegangan (gapit dan tuding).
Upaya ini dikerjakan, dikawal, dan dibiayai secara mandiri oleh sivitas akademika UGM dan alumni. Sebuah penciptaan yang memerlukan proses diskusi dengan melibatkan berbagai pihak hingga luar masyarakat kampus. Pengerjaan sebagian besar dikerjakan di Surakarta dan Klaten. Wayang Gajah Mada yang dikerjakan oleh sivitas dan alumni UGM meliputi tiga elemen pokok pergelaran wayang, yakni wujud peraga wayang, narasi wayang (sanggit), dan bentuk pergelaran wayang.
Hingga saat ini, peraga wayang yang telah selesai dibuat sebanyak 70 peraga, terdiri dari tokoh-tokoh penting sejak masa Singasari akhir hingga masa akhir Mahapatih Gajah Mada. Secara prinsip sudah memadai untuk pergelaran semalam suntuk dengan lakon yang berpusat pada sosok Gajah Mada mulai dari sejak lahir hingga moksa. Secara wujud, bentuk Wayang Gajah Mada menyatukan berbagai gaya, baik dari Cirebon, Surakarta, Yogyakarta, Malangan (Jawa Timur), hingga corak wayang Gambuh dari Bali. Dengan demikian, semangat yang hendak dibangun melalui Wayang Gajah Mada adalah semangat Nusantara.
Seiring dengan semangat Nusantara sebagaimana ada pada wujud wayang, bentuk pergelaran wayang nantinya juga bersemangat nusantara, artinya sekat-sekat sub-kultur Nusantara dibuka.
Dr. Sindung Tjahyadi menyatakan Wayang Gajah Mada merupakan bagian dari kreasi dalam rangka melanjutkan dan menguatkan tradisi wayang kulit. Wayang Gajah Mada sendiri jika dilihat dari ketegorisasi masuk wayang gedok.
“Tahun 2015 atau 2016, UNAIR sudah mengembangkan Wayang Airlangga dengan narasinya sehingga dari Airlangga, Singosari itu sebagian sudah terisi, sedang wayang Gajah Mada ini, sementara masih menutup lubang dari lahirnya Gajah Mada sampai moksanya,” ujarnya di UC UGM, Kamis (14/11) saat berlangsung seminar nasional wayang.
Diharapkan 5-10 tahun lagi semua narasi terkait wayang gedok sudah terpenuhi. Selain itu, pelibatan komunitas dan pribadi-pribadi diperluas melalui Lomba Lakon Gajah Mada yang sebenarnya sudah didahului oleh Unair.
“Cuma lakonnya mau jadi seperti apa, monggo nanti dielaborasi bersama Wayang Gajah Mada ini bagi banyak pihak mungkin hal ini adalah baru tetapi bagi yang lain ini sudah pergulatan tiga tahun lalu,” ucapnya.
Seminar nasional wayang digelar dalam rangka Lustrum UGM XIV. Sejumlah pembicara hadir diantaranya Prof. Dr. Agus Aris Munandar yang berbicara soal Narasi Gajah Mada dalam sejarah, Prof. Dr. Timbul Haryono membahas Sumber-sumber referensi arkheologis wujud Wayang Gajah Mada, Rudy Wiratama Partohardono, M.A. soal Kreasi peraga Wayang Gajah Mada: genealogi wujud wayang, Suluh Juniarsah, S.Sn soal Membangun Bentuk-bentuk pergelaran Wayang Gajah Mada, Dr. Bambang Suwarno Sindutanaya, S.Kar., M.Hum. mengupas Eksposisi Fragmen Wira Gajah Mada, dan bertindak selaku moderator R. Bima Slamet Raharja, M.A.
Panitia Lustrum ke-14 UGM, Widodo, SP., M.Sc., berharap bagaimana cerita Gajah Mada itu menjadi cerita baku yang tentunya akan ada cerita carangan di dalamnya. Bagaimana cerita wayang yang sejatinya merupakan cerita riil tentang maha patih Gajah Mada yang menginspirasi Indonesia karena dengan bhineka tunggal ika yang luar biasa.
“Kajian-kajaian tersebut bisa didokumentasikan dalam bentuk buku atau publikasi yang lain. Dari para pembicara tentu akan melakukan pendekatan historis arkeologis yang akan menjadi sumber cerita wayang Gajah Mada itu kayak apa. Kalau itu bisa, selain mengenal sejarah bangsa kita, nusantara kita juga sebagai hiburan yang dinarasikan dalam bentuk wayang,” ungkapnya.
Dr. Agus Aris Munandar menandaskan ada alasan-alasan tertentu dari seniman sehingga mereka membuat Arca Bima. Gajah Mada senantiasa menempatkan dirinya bukan sebagai dewa, melainkan alas dari dewa. Sedangkan raja Iswara sebagai dewanya. Jika Iswara, syiwa, mahadewa adalah raja maka Gajah Mada cukup mengidentifikasikan sebagai aspek syiwa saja yaitu Bima.
“Jadi, ia tidak pernah menyatakan saya wisnu karena ia hanya mahapatih amengkubumi, kenapa banyak pemujaan bima karena bima aspek dari syiwa. Kalau bima metafora dari Gajah Mada maka sudah tepat menempatkan dirinya sebagai bima,” tandasnya.
Terkait Wayang Gajah Mada ini, bagi Prof. Dr. Timbul Haryono perlu mempertanyakan kembali dalam kalimat wayang Gajah Mada, apakah mewakili individu atau mewakili masyarakat Majapahit.
“Alangkah baiknya kalau kita sebut wayang Gajah Mada itu wayang yang menceritakan bukan hanya Gajah Mada tetapi sebagai warga Majapahit. Atau paling tidak menceritakan awalnya tentang raja Wijaya, Gajah Mada sebagai perdana menteri atau maha patih sampai mendiangnya,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)