Upaya meningkatkan kualitas tata kelola di lingkungan pendidikan tinggi menuntut mekanisme dialog yang berbasis kajian strategis dan bukti empiris. Dalam konteks ini, analisis kebijakan mahasiswa menjadi instrumen penting untuk mengidentifikasi persoalan layanan hingga pengalaman belajar. Kebutuhan sinergi antara kajian dan kebijakan inilah yang menjadi fokus dalam forum Hearing Rektorat yang digelar Forum Advokasi (Formad) UGM pada Senin (24/11) silam di Gedung Pusat UGM.
Forum ini dihadiri jajaran pimpinan universitas, mulai dari Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D., hingga para Wakil Rektor yang membidangi pendidikan, kemahasiswaan, riset, SDM, dan perencanaan. Dari perwakilan mahasiswa, forum ini diikuti oleh berbagai organisasi kemahasiswaan, misalnya Forum Komunikasi (FORKOM) UGM, Majelis Wali Amanat Unsur Mahasiswa (MWA UM) UGM, Anstrat BEM KM UGM, dan BEM masing-masing fakultas. Forum ini juga dihadiri oleh berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa, seperti UKM Jamaa’ah Salahuddin, Unit Kerohanian Katolik, Unit Kerohaniaan Kristen, dan BPPM Balairung.
Rektor mengungkapkan harapan agar forum yang pertama kali dilaksanakan ini dapat diselenggarakan secara berkelanjutan. “Semoga saja dapat diadakan secara rutin setiap empat bulan sekali. Jadi setidaknya akan ada tiga kali pertemuan dalam setahun yang dapat merekatkan seluruh komponen di UGM,” harapnya.

Rektor juga memberikan apresiasi tinggi terhadap paparan mahasiswa yang didukung data dan bukti empiris. “Saya sangat bangga dan senang dengan masukan mahasiswa, karena kalian menggunakan bukti. Ini adalah modal yang luar biasa. Kalian tidak menggunakan data kosong, melainkan data konkret yang bisa diolah, seperti data terkait parkir dengan peralatan dan sebagainya. Jadi, saya pikir ini sangat bagus,” tutur Ova.
Mengenai implementasi solusi nyata, menurutnya, diskusi bersama ini memungkinkan ditemukannya solusi yang menguntungkan. “Sebelumnya, kalian telah menyajikan banyak solusi dan kemungkinan. Melalui forum ini kita akan membahas lebih lanjut potensi impelementasi dari solusi-solusi tersebut,” ujar Rektor.
UKT Mahasiswa Baru
Isu transparansi penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa baru tahun akademik 2025/2026 menjadi sorotan utama jalannya diskusi. Berdasarkan kajian kebijakan UKT yang dilakukan oleh Formad UGM terhadap 1.472 mahasiswa, ditemukan indikasi kuat adanya ketidaksesuaian. Secara spesifik, 61,5% responden menilai UKT yang ditetapkan tidak sesuai ekspektasi dan 54,9% responden merasa besaran tersebut tidak sejalan dengan kemampuan finansial keluarga.
Temuan ini diperparah dengan tingginya tingkat penolakan pada proses pengajuan banding UKT. Koordinator Forum Avokasi UGM, A. Batara Gemilang, mengungkapkan bahwa hasil yang dihimpun timnya mengemukakan bahwa dari 632 mahasiswa yang keberatan dan mengajukan banding, hanya 138 orang yang diterima. “Tingkat penolakan sangat ekstrim ketika mengajukan banding, yang diterima hanya sekitar 138 orang atau 21,8%, sedangkan mayoritas yang tidak diterima 78,2%,” jelas Bantara, menyoroti sistematis dalam pemberian keringanan.
Batara juga menambahkan adanya hambatan teknis yang memperkeruh proses ini, yaitu kendala pada sistem token pengajuan banding. “Seringkali mahasiswa baru itu tidak mendapatkan token ketika ingin mengajukan banding. Sebagai contoh, pada tanggal 17 juli, ketika kami (Formad) membuka (pelaporan) kendala aju banding, dalam 5 jam terkumpul sebanyak 141 mahasiswa yang mengalami kendala sistem,” jelasnya.

Hambatan teknis ini, lanjut Batara, secara implisit memaksa mahasiswa melunasi biaya pendidikan yang ditetapkan tanpa sempat mengajukan banding. Ketiadaan opsi ini menghilangkan kesempatan mahasiswa untuk memperoleh keringanan finansial sehingga terpaksa menerima keputusan penetapan biaya tersebut. Keputusan ini, menurutnya, diambil semata-mata demi memastikan status mereka sebagai mahasiswa di UGM tetap tercatat.
Menanggapi isu ini, Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Keuangan, Prof. Dr. Supriyadi, M.Sc, mengapresiasi temuan mahasiswa yang didasari oleh argumen yang kuat dan analisis data yang komprehensif. Supriyadi menyatakan, “Kami sangat mendukung transparansi. Untuk itu, beberapa waktu yang lalu kami telah berkomunikasi dengan perwakilan mahasiswa, dan segera kami tindak lanjuti untuk memberikan data sesuai yang diinginkan.”
Terkait survei kepuasan UKT dan mekanisme token yang macet, Supriyadi menjelaskan bahwa kedua hal tersebut sudah masuk dalam rencana tindak lanjut universitas. “Kami sangat mengharapkan peran aktif (perwakilan) mahasiswa. Kami akan menyiapkan satu skema mekanisme khusus yang akan melibatkan partisipasi mahasiswa dalam rangka survei mengenai kondisi dan proses pembayaran yang mereka jalani,” jelasnya.
Lebih lanjut, berkenaan dengan masukan forum tentang pelebaran kategorisasi UKT dari 5 golongan menjadi 6 golongan, Supriyadi menjelaskan bahwa hal tersebut sedang dalam proses analisis mendalam. Ia menekankan, “Masukan konstruktif dari mahasiswa sangat baik. (nanti) akan kami gunakan sebagai salah satu dasar analisis dalam pengambilan keputusan,” pungkasnya.
Kantong Parkir dan kebijakan Transportasi kampus
Perwakilan dari Badan Kelengkapan MWA UM, Aprie, mengkritisi penerapan kebijakan parkir yang dinilainya tergesa-gesa. Ia berpandangan, kebijakan tersebut gagal menetapkan prioritas yang tepat karena tidak dibarengi dengan penyediaan transportasi pengganti yang memadai. “Kebijakan parkir kurang tepat dalam menentukan prioritas. Kebijakan ini terlalu terburu-buru tanpa menyediakan transportasi pengganti yang memadai,” ujarnya.
Data yang dihimpun oleh Tim Hearing Rektorat Isu Parkiran & Transportasi 2025 yang terdiri atas Formad UGM, MWA UM, Jamaah Salahuddin, dan LEM FIB, mengemukakan hasil bahwa bus kampus dinilai tidak layak oleh 190 responden. Hal ini disebabkan waktu tunggunya tidak pasti, hingga mencapai 45 menit. Akibatnya, mahasiwa menanggung tiga beban sekaligus (triple burden), yaitu waktu perjalanan yang molor hingga 50%, kelelahan fisik, dan stres yang mengganggu fokus belajar.
Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Aset, dan Sistem Informasi, Arief Setiawan Budi Nugroho, S.T., M.Eng., Ph.D menanggapi isu ini dengan menekankan pentingnya akuntabilitas data. Arief membantah data waktu tunggu mahasiswa dengan merujuk pada sistem internal yang transparan. “Saat ini kita memiliki sistem yang memungkinkan semua pihak untuk ikut mengecek data secara langsung. Saya hampir setiap hari ikut mengecek terkait dengan headway ini. Data terakhir menunjukkan headway-nya hampir 90 menit. Satu hari, bus akan berputar 22 sampai 24 kali. Headway-nya adalah 20 menit. Data ini dapat kita pantau secara langsung melalui simaster VNext secara transparan.” jelasnya.
Meskipun demikian, Arief menyatakan keterbukaan Rektorat untuk melakukan kajian dan diskusi lanjutan bersama mahasiswa. “Saya sangat terbuka untuk kajian lanjutan untuk berdiskusi secara detail dalam upaya mencapai satu konsep green kampus yang ingin kita raih ke depan,” pungkasnya.
Pengelolaan GIK, fasilitas GOR, dan sekretariat Ormawa
Renovasi GIK yang digagas menjadi ‘wajah baru’ Gelanggang UGM, menjadi salah satu sorotan utama dalam Hearing Rektorat 2025. Fokus utama terletak pada relokasi sekretariat UKM yang menuai kritik, pembengkakan anggaran pembangunan, hingga molornya target penyelesaian.
Selain masalah konstruksi, kendala lapangan juga mempersulit aktivitas mahasiswa. Hal ini meliputi ketidakjelasan informasi penyewaan ruangan dan yang terparah, pembatalan sepihak pemakaian ruangan menjelang acara karena mendadak dialokasikan untuk kegiatan mitra.
Oleh perwakilan yang hadir, praktik lapangan ini dinilai kontras dengan artikel humas UGM yang terbit pada 29 Agustus 2025, yang menyebutkan bahwa penggunaan GIK diperuntukkan sepenuhnya untuk kegiatan hilirisasi hasil pendidikan menuju industri dan pengembangan bakat mahasiswa.

Menanggapi pembangunan yang molor dan sebagian gedung GIK yang masih dipagari dan gelap, Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengambangan Usaha, dan Kerja Sama, Dr. Danang Sri Hadmoko, S.Si., M.Sc., memberikan penjelasan. Danang menyebutkan bahwa kondisi tersebut terjadi karena pembangunan GIK saat ini sedang memasuki tahap kedua, yakni tahap finisihing dan melengkapi fasilitas. “Memang terdapat bagian yang gelap dan masih dipagari. Ini karena pada saat ini akan dilaksanakan pembangunan untuk tahap kedua, yaitu untuk finishing, melengkapi (fasilitas), dan sebagainya. Kalau ini lancar semuanya, tahun 2026 pertengahan sudah diserahkan 100% oleh Kementerian PU kepada UGM.” jelasnya.
Sementara itu, Direktur Utama GIK UGM, Alfatika Aunuriella Dini, Ph.D., menyampaikan apresiasinya terhadap masukan mahasiswa, khususnya terkait penggunaan ruang. Ia menjelaskan bahwa awalnya, penggunaan kuota event dikenakan biaya operasional. Namun, setelah audiensi pertama pada bulan Mei, manajemen mengubah kebijakan menjadi gratis. “Setelah audiensi pertama, manajemen mengubah kebijakan untuk penggunaan kuota event mahasiswa menjadi gratis. Sampai sekarang, sebagian UKM telah memanfaatkanya.” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa GIK menyediakan dua jenis kuota ruang untuk UKM, yakni kuota ruang reguler dan kuota event. Alfatika mengakui, berdasarkan observasinya, kuota ruang reguler memang memiliki batasan jenis kegiatan yang dapat dilakukan di GIK. “Memang untuk kuota-kuota reguler ini ada beberapa secara natural tidak dapat dilakukan di GIK, seperti party band dan sebagainya.” tambahnya.
Alfatika menekankan bahwa GIK berupaya menyediakan berbagai program, bukan hanya fasilitas. Melalui forum ini, Alfatika meminta masukan lebih lanjut. “Kami berharap, adik-adik mahasiswa dapat memberikan masukan, seperti apa kira-kira yang UKM perlukan sehingga dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa secara luas dan UKM secara spesifik.” pungkasnya.
Penulis : Aldi Firmansyah
Editor : Triya Andriyani
Foto : Donnie
