Di tengah rimbunnya hutan hujan di Sumatera Barat, tim peneliti berhasil mendokumentasikan kemunculan bunga raksasa Rafflesia hasseltii dalam sebuah riset kolaboratif Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Universitas Bengkulu, dan Komunitas Peduli Puspa Langka Bengkulu. Penelitian yang turut didukung oleh The University of Oxford Botanic Garden and Arboretum serta Program RIIM Ekspedisi BRIN ini kembali menyoroti besarnya tantangan dalam upaya konservasi dan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia.
Guru besar Fakultas Biologi UGM, Prof. Budi S. Daryono, menanggapi bahwa bunga Rafflesia hasseltii bukanlah temuan baru, Bunga langka yang tumbuh di hutan hujan Sumatera Barat tersebut telah lama tercatat dan telah terdokumentasi dengan baik dalam literatur ilmiah miliknya. Ia menjelaskan bahwa Rafflesia hasseltii sendiri merupakan bagian dari satu famili Rafflesiaceae yang terdiri atas tiga genus yakni Rafflesia, Rhizanthes, dan Sapria. Di genus Rafflesia sendiri, ia menyebut bahwa telah ditemukan sebanyak 42 spesies di Indonesia, namun hampir semuanya masuk dalam kategori terancam akibat degradasi habitat. “Yang terbaru ada 42 spesies dari genus Rafflesia, itu saat ini terancam punah karena ekosistemnya rusak,” jelasnya, Senin (1/12).
Penemuan ini sekaligus menyoroti berbagai ancaman serius terhadap keberlangsungan bunga Rafflesia. Sebagai tumbuhan holoparasit yang sepenuhnya bergantung pada inang Tetrastigma, Rafflesia sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Budi menyebut bahwa kelestarian Rafflesia sangat bergantung pada keutuhan ekosistem hutan. Adanya fragmentasi hutan akibat perkebunan, pertambangan, dan alih fungsi lahan di Sumatra, Kalimantan, serta Jawa mempersempit area tumbuh Rafflesia hingga memutus rantai kehidupannya. Selain itu, perubahan iklim turut memperparah tekanan terhadap spesies ini. “Naik 1–2 derajat saja, dia harus mati-matian untuk menyesuaikan diri,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia masih tertinggal dalam upaya eksplorasi dan penambahan temuan spesies baru. Ia menyebut negara seperti Malaysia dan Filipina mampu menambahkan jenis Rafflesia lebih cepat karena memiliki pendanaan riset yang konsisten dan pemanfaatan teknologi molekuler yang mutakhir. Sedangkan di Indonesia, kegiatan eksplorasi sering terhambat anggaran, keterbatasan sumber daya, dan belum adanya program pendataan biodiversitas yang berkesinambungan. Kondisi ini menyebabkan beberapa populasi Rafflesia yang hilang sebelum terdokumentasi, serta banyak potensi spesies baru yang belum teridentifikasi.
Menyikapi persoalan tersebut, Budi menegaskan pentingnya upaya pelestarian mulai dari eksplorasi lapangan. Menurutnya, eksplorasi lapangan harus dilakukan secara rutin untuk memperbarui data persebaran, mendeteksi populasi baru, dan memastikan tidak ada spesies yang hilang. Hal ini juga didukung dengan adanya identifikasi dan klasifikasi ilmiah agar temuan dapat dipastikan keakuratannya. Ia juga menyoroti pentingnya pemanfaatan teknologi molekuler seperti analisis DNA untuk mempercepat penetapan spesies baru dan membedakan jenis yang secara morfologi serupa. “Pemberian namanya harus jelas, agar kita bisa mengklaim spesies baru didukung dengan teknologi molekuler,” tuturnya.
Selain memperkuat riset, ia menekankan pentingnya perlindungan dengan konservasi in-situ dengan melestarikan hutan hujan tropis yang menjadi habitat Tetrastigma agar Rafflesia dapat bertahan. Menurutnya, keberhasilan konservasi sepenuhnya bergantung pada kondisi ekosistem yang utuh dan tidak terfragmentasi. Namun ketika habitat alami telah terdegradasi dan tidak lagi memungkinkan untuk dipulihkan, konservasi ex-situ menjadi langkah penyelamatan penting melalui pengembangan populasi di kebun raya, taman nasional, maupun pusat konservasi berbasis riset. “Kalau di sana nanti kita tidak bisa melindungi sepenuhnya, ya ini harus kita bawa ke daerah lain untuk bisa dikembangkan,” ujarnya.
Sebagai langkah pelestarian jangka panjang, Budi juga menekankan pentingnya pelibatan masyarakat lokal dalam menjaga keberlanjutan habitat Rafflesia. Ia menilai bahwa masyarakat sekitar adalah penjaga pertama habitat tempat Rafflesia tumbuh, sehingga perlu dilakukan penguatan edukasi bahwa Rafflesia merupakan aset bangsa. Ia mendorong agar pemahaman mengenai keunikan dan kerentanan Rafflesia ditanamkan sejak dini, terutama kepada generasi muda sebagai investasi penting untuk masa depan konservasi Indonesia.
Budi menegaskan bahwa rangkaian langkah konservasi mulai dari eksplorasi, identifikasi, verifikasi molekuler, hingga pelibatan masyarakat bukan sekadar prosedur teknis. Ia menjelaskan bahwa hal ini dapat menjadi pondasi dalam membuka peluang riset jangka panjang. Menurutnya, jika konservasi dasar dapat dijamin, penelitian berkelanjutan berpotensi mengungkap manfaat Rafflesia yang selama ini belum tersentuh, termasuk kemungkinan senyawa bioaktif untuk fitofarmaka maupun pengobatan penyakit degeneratif. “Bioprospeksi itu penting, tetapi harus dilakukan setelah semua aspek konservasi berhasil. Jangan sampai kita bicara manfaatnya, tapi belum bisa melestarikan dan membudidayakannya,” tutupnya.
Penulis : Cyntia Noviana
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Detik.com/Faried
