Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Sumatera tak hanya menelan ratusan korban jiwa, namun juga merusak habitat dari satwa dan menewaskannya. Seekor gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) ditemukan mati akibat banjir di Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh. Gajah tersebut mati terbenam di antara tumpukan kayu hutan dan lumpur hitam yang terbawa banjir. Hal diduga akibat dari longsornya habitat asli mereka karena bencana banjir tersebut.
Menanggapi hal ini, Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Prof. Dr. drh. Raden Wisnu Nurcahyo menegaskan bahwa hal tersebut menjadi perhatian yang serius bagi semua pihak agar memperhatikan habitat dari satwa, tidak hanya gajah saja, melainkan semua binatang harus dilindungi. Karena wilayah Sumatera memiliki beragam jenis spesies flora dan fauna. “Jadi, hilangnya habitat karena ulah manusia itu dengan sendirinya juga, flora dan faunanya juga ikut menjadi korban,” jelasnya, Selasa (2/12).
Menurut Wisnu, banjir bandang yang disebabkan oleh alih fungsi lahan perkebunan sawit tersebut tentu mengakibatkan gajah-gajah menjadi terfragmentasi dan menjadi semakin terjepit. Tidak hanya kelapa sawit, habitat asli dari gajah juga dialihfungsikan menjadi pertambangan, pembuatan jalan, permukiman, dan perladangan. Selain gajah yang menjadi korban, bentang alam pun kian menyusut akibat dari ulah manusia. Hal tersebut membuat gajah terseret ke pemukiman warga. “Padahal untuk seekor gajah itu perlu tempat untuk sosialisasi, berkumpul bersama dengan kelompok gajah, dengan kawanan gajah yang lain. Kemudian dia sudah memiliki jalur misalnya untuk mandi, mencari makan, berkembang biak di habitat yang nyaman, sehingga populasinya bisa semakin meningkat. Tapi dengan adanya kondisi seperti ini, itu akan membuat mereka itu juga semakin terjepit dan terpaksa terseret ke pemukiman,” jelas Wisnu.
Wisnu sendiri menilai bahwa untuk mencegah hal yang serupa tersebut tentu perlu dilakukan konservasi dengan cara menjaga habitat asli dari para gajah. Menurutnya habitat paling baik terdapat di tanah Sumatera, oleh karena itu pelarangan membuka pertambangan atau pembangunan infrastruktur jalan yang membelah hutan perlu diterapkan. Namun, bagi Wisnu ‘pembunuh utama’ dari gajah tersebut adalah alih fungsi lahan menjadi kelapa sawit. “Nah, khusus untuk di Aceh ini mestinya ya segera dibuat ketentuan bahwa tidak boleh ada lagi pembukaan lahan untuk kelapa sawit,” jelasnya.
Wisnu menegaskan bahwa bencana yang terjadi di Sumatera ini merupakan ulah dari manusia melalui penebangan hutan, penanaman kelapa sawit, dan membuka lahan untuk pertambangan. Hal ini tentu tidak hanya memberi dampak pada manusia, tetapi juga satwa liar. “Nah ini yang harus diingat, kita harus berbagi ruang antara satwa liar dan flora. Jadi harus berbagi ruang, kalau enggak nanti akan menjadikan malapetaka-malapetaka selanjutnya,” pungkasnya.
Penulis : Salwa
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Antara
