Kematian anak gajah kembali terjadi dan menjadi suatu kondisi serius yang memprihatinkan. Anak gajah bernama Nurlaila atau biasa dipanggil Laila yang dirawat di Pusat Konservasi Gajah Sebanga, Kabupaten Bengkalis, Riau, itu mati pada hari Sabtu (22/11). Laila terlihat kurang aktif sejak Kamis (20/11) dan memicu kekhawatiran sehingga tim medis dipanggil untuk memeriksa dan mendapati bahwa nafsu makan dan minumnya masih baik, serta suhu tubuhnya juga masih normal. Walaupun pada Sabtu (22/11) Laila terdengar menjerit pada dini hari, gajah itu masih bangun dan bersuara pada pukul 05.00 WIB sebelum akhirnya ditemukan mati pada pukul 05.30 WIB. Tim dokter hewan Balai Besar KSDA Riau pun melakukan nekropsi pada Laila.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM, Prof. Dr. drh. Raden Wisnu Nurcahyo, mengungkapkan kegelisahannya terkait kasus kematian anak gajah yang terjadi berulang kali. “Mestinya ada kewaspadaan atau tindakan nyata untuk penyelamatan untuk gajah. Harus ada pertolongan pada gajah-gajah lain yang masih hidup. Kalau tidak diambil satu tindakan yang darurat, tentu ini akan terus berjalan dan berulang lagi,” ujarnya, Rabu (3/12).
Kasus kematian anak gajah kali ini, kata Wisnu, memiliki penyebab kematian yang cenderung ke arah EEHV (Elephant endotheliotropic herpesvirus) karena termasuk ke dalam gajah dengan usia di bawah 10 tahun, persis dengan kasus Tari, anak gajah yang mati sebelumnya. “Nah, biasanya kematian yang cepat seperti itu adalah virus, beda dengan kematian yang kronis. Kalau yang akut ini cepat sekali,” jelasnya.
Wisnu kembali menambahkan bahwa anak-anak gajah yang mati tentunya memengaruhi kondisi kelompok dan keberlanjutan populasi. Regenerasi akan menjadi suatu hal yang sulit. Hal tersebut didorong juga dengan adanya gajah dewasa yang semakin lemah dan daya jelajah yang menurun sehingga lambat laun akan mati. Wisnu menilai bahwa sekarang, habitatnya sudah mulai tidak baik karena banyak perubahan fungsi lahan, pembakaran, pembangunan, pertambangan, dan lain-lain. Tentunya itu akan menjadikan mereka semakin terfragmentasi habitatnya, yaitu semakin menyempit. “Nah, ini akan mengakibatkan terjadinya inbreeding atau perkawinan antar saudara yang hasilnya kurang baik. Dengan gen-gen yang kurang baik itu, akan muncullah penyakit, secara genetik juga lemah kondisinya,” paparnya.
Di samping itu, Wisnu juga memberikan sebuah gambaran anak gajah dan induknya yang hidup di alam liar dimana tentunya mereka lebih teruji dengan ketahanan fisik. Hal tersebut terjadi karena induknya mengajak anaknya untuk lebih aktif bergerak dan mendapatkan asupan makanan yang memang membuat daya tahan tubuh lebih kuat. Apabila sedang sakit, mereka memiliki insting untuk memakan dedaunan tertentu. Itu dinamakan Self-medication Wildlife Behavior.
“Misalnya satu kasus dimana induknya sakit dan melemah. Kemudian, ditemukan oleh penjaga hutan dan dirawat di pusat latihan gajah sehingga ia dan anaknya harus makan dari makanan yang disuplai oleh penjaga. Asupan makanannya terbatas dan instingnya hilang. Kalau terjadi seperti itu, itu sesuatu yang berbeda,” katanya.
Menurut Wisnu, apabila melihat peristiwa kematian anak gajah yang terus terjadi, tentunya harus ada komitmen yang keras dari pihak pemerintah. Pemerintah bisa mengundang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang selama ini juga ikut menangani gajah atau rekan-rekan dokter hewan yang peduli terhadap kesehatan atau keselamatan gajah. “Intinya, rutin lakukan pemantauan perilaku, pemeriksaan fisik, dan pengambilan sampel darah sehingga ada intervensi medis. Lalu, untuk gajah yang mati, seharusnya juga dilakukan pembersihan agar tempatnya tidak terkontaminasi virus,” pungkasnya.
Penulis : Alena Damaris
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Tempo
