Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November silam, kembali menunjukkan betapa rentannya masyarakat ketika cuaca ekstrem berlangsung berhari-hari. Banyak wilayah berubah menjadi zona darurat dalam waktu singkat dan memaksa warga bergerak cepat menyelamatkan diri. Kondisi ini memperlihatkan bahwa bencana hidrometeorologi membawa dampak sosial yang jauh lebih dalam dari sekadar genangan air. Peristiwa ini mengingatkan bahwa krisis cuaca kini menuntut respons sosial yang jauh lebih kuat dan terkoordinasi.
Sosiolog UGM, Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si., menyebut banjir besar ini sebagai pertanda serius bahwa tata kelola risiko belum berjalan sebagaimana mestinya di berbagai daerah. Ia menilai bahwa ancaman perubahan iklim dan kerusakan ekologi makin nyata dan tidak bisa dipandang remeh. Situasi ini memperlihatkan lemahnya konsolidasi negara dalam merespons bencana berskala besar. “Ini menunjukkan tantangan serius konsolidasi negara dan ancaman kerusakan ekologi,” kata Arie, Rabu (3/12).
Menurut Arie, masyarakat Sumatera memiliki pengalaman panjang dalam menghadapi bencana, termasuk solidaritas komunitas yang tumbuh secara alami. Namun, ia melihat banyak kelompok yang berada dalam posisi rentan karena kondisi ekonomi dan lokasi tempat tinggal. Warga yang hidup di bantaran sungai atau kawasan sempadan sering kali tidak memiliki pilihan selain tetap tinggal di area rawan. Ketika bencana datang, mereka mengalami dampak yang jauh lebih berat. “Banyak warga dengan keterbatasan ekonomi yang tinggal di pinggiran sungai menjadi kelompok paling rentan,” ujarnya.

Arie juga menyoroti hubungan antara ketimpangan sosial dan dampak bencana yang membesar bagi kelompok tertentu. Ia menjelaskan bahwa keterbatasan akses layanan dasar dan perlindungan sosial memperburuk situasi di lapangan. Bencana yang berlangsung cepat membuat kelompok berpenghasilan rendah menghadapi tekanan yang berlapis. Ia menegaskan bahwa situasi ini harus dilihat sebagai persoalan besar yang membutuhkan respons serius dari negara. “Bencana seperti ini selalu membuat kelompok rentan secara ekonomi mengalami dampak paling berat,” tutur Arie.
Solidaritas warga tetap menjadi penopang utama di fase awal bencana, terutama ketika akses bantuan resmi belum sepenuhnya tiba. Komunitas bergerak membuka ruang aman, mengumpulkan logistik, dan menopang kebutuhan dasar warga lain yang kesulitan. Menurut Arie, kekuatan solidariras sosial ini adalah modal besar, namun belum cukup jika tidak diperkuat oleh kehadiran negara. Skala bencana membuat peran pemerintah tetap menjadi unsur paling menentukan. “Solidaritas tumbuh kuat, tetapi skala bencana besar tetap membutuhkan peran negara dengan resource yang besar,” tegasnya
Ia menilai negara harus memprioritaskan evakuasi, kebutuhan dasar, dan penyediaan hunian sementara sebagai langkah darurat yang tidak bisa ditunda. Pemenuhan makan, minum, obat-obatan, pakaian, dan ruang tinggal aman adalah landasan awal pemulihan. Arie menekankan bahwa langkah-langkah tersebut harus dibarengi perencanaan jangka menengah yang jelas agar masyarakat dapat bangkit lebih cepat. Pemulihan sosial membutuhkan dukungan logistik dan koordinasi lintas sektor yang kuat. “Negara harus berperan besar memproteksi masyarakat mulai dari evakuasi hingga pemenuhan kebutuhan dasar,” ujar Arie.
Dalam fase pascabencana, Arie mengingatkan bahwa trauma sosial sering muncul bersamaan dengan kerugian fisik yang dialami warga. Karena itu pemulihan tidak berhenti pada perbaikan rumah atau sarana umum saja, tetapi juga pada upaya memulihkan rasa aman dan daya tahan komunitas. Ia menekankan perlunya layanan dukungan yang cepat agar masyarakat tidak terjebak dalam situasi pasca–krisis yang berkepanjangan. Bagi Arie, ini adalah pengalaman penting yang menegaskan perlunya perencanaan lintas sektor yang lebih kuat. “Krisis seperti ini menuntut perpaduan kinerja pemerintah pusat, daerah, dan lintas sektor,” pungkasnya.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Donnie dan Antara
