Bencana banjir bandang dan tanah longsor menimpa tiga provinsi di Sumatra yaitu Aceh, Sumatra Utara (Sumut), dan Sumatra Barat (Sumbar) hingga Jumat pagi (5/12) menelan 836 korban meninggal dunia, 509 orang menghilang, dan 2,7 ribu orang terluka. Bencana ini ditengarai akibat laju deforestasi yang terjadi secara masif dalam beberapa dekade terakhir yang menyebabkan kerusakan Daerah Aliran Sungai di tingkat hulu, lemahnya penegakan hukum serta resiko dampak hidrometeorologi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi bertajuk ‘Pengelolaan Hutan dan Mitigasi Bencana’ di Auditorium Fakultas Kehutanan belum lama ini. Diskusi ini menghadirkan beberapa pakar untuk menelaah lebih dalam penyebab bencana tersebut serta mitigasi bencana yang akan datang dilihat dari beberapa aspek geospasial, kebijakan kehutanan, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), serta perencanaan dan perhutanan sosial.
Dr. Hatma Suryatmojo, selaku peneliti hidrologi hutan dari Fakultas Kehutanan UGM mengatakan bencana banjir sumatra merupakan hasil interaksi fatal antara faktor pemicu yaitu cuaca ekstrim yang menghantam ekosistem hutan yang sudah sangat rapuh. Kapasitas alam untuk meredam bencana semakin berkurang karena deforestasi, alih fungsi lahan dan tata ruang yang belum memperhatikan aspek kerawanan bencana. “Curah hujan ekstrim memang ada dan itu menjadi pemicu awal. Sehingga kami melihat bahwa akar masalah sesungguhnya adalah perusakan ekosistem hulu sampai hilir dari daerah aliran sungai dan kelalaian tata ruang yang terjadi secara sistematik,” paparnya.
Hatma merekomendasikan langkah yang perlu dilakukan dengan pendekatan untuk memutus siklus bencana dengan strategi ganda dengan cara menghentikan deforestasi dan melindungi sisa hutan di kawasan serta rehabilitasi DAS dan reforestasi. Lalu untuk Kedua, pendekatan teknis dan sosial diperlukannya tata ruang ulang berbasis risiko bencana, peringatan dini, edukasi dan pelibatan masyarakat. “Bencana ini bukan kegagalan alam melainkan kegagalan dalam implementasi dan penegakan hukum terhadap regulasi konservasi dan juga tata ruang yang sudah ada,” ujarnya.
Dr. Belinda Arunarwati Margono, dari Badan Informasi Geospasial (BIG) sepakat dengan pemaparan Hatma bahwa bencana tersebut memiliki banyak penyebab. Mulai dari geomorfologi kondisi fisik permukaan dan tanah, cuaca ekstrim, serta faktor antropologi manusia dan budayanya. Beberapa permasalahan juga terkendala karena belum optimalnya komunikasi, interaksi, dan pemahaman antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. “Komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah belum terbangun sehingga deteksi dini sudah ada, tetapi tidak ada mekanisme termasuk kepedulian atau pemahaman faktor-faktor ini membuat bencana tetap terjadi.” katanya.
Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM Prof. San Afri Awang menilai pengawasan pembangunan kehutanan selama ini masih sangat lemah karena komunikasi pemerintah daerah dan pusat kurang baik. Terlihat dari pemerintah daerah yang tidak menjalankan penegakkan hukum seperti Undang-Undang Konservasi Tanah dan Air (KTA) yang bahkan tidak dianggarkan. Ia mempertegas permasalahan serius ini perlu diantisipasi kedepannya.
Sementara Prof. Ambar Kusumandari, pakar konservasi tanah dan air dari Fakultas Kehutanan UGM ini menyampaikan pandangannya pada aspek konservasi tanah dan air serta pengelolaan DAS pada kejadian bencana yang menimpa tiga provinsi di Sumatra tersebut. Secara morfometri DAS, kata Ambar, ketiga wilayah tersebut sedari awal mempunyai potensi kebencanaan yang tergolong tinggi pada 4 dari 10 DAS yang sudah dikaji. Ditambah dengan kondisi tanah ketiga wilayah tersebut yang dilewati oleh patahan sehingga memiliki kesempatan yang lebih tinggi untuk terjadi longsor setelah gempa bumi. “Dengan deforestasi yang sangat cepat, bencana hidrometeorologis akan semakin meningkat yang memiliki dampak besar dari berkurangnya keanekaragaman hayati, menghilangnya sumber cadangan air,” terangnya.
Dosen Kehutanan UGM lainnya, Prof. Ahmad Maryudi, menyoroti dalam laju deforestasi pada taman nasional di Sumatra umumnya terjadi karena faktor antropogenik atau bencana akibat tindakan dan kelalaian manusia. Hal ini juga disebabkan oleh kebijakan yang telah terinflasi, kualitas kebijakan yang rendah ditambah kemampuan implementasi yang kurang semakin memperburuk keadaan. “Tidak bisa dinafikan bahwa deforestasi ini salah satu kontributor dari bencana tetapi deforestasi ini akumulasi bertahun-tahun dan disebabkan adanya policy inflation dan capacity collapse,” tekannya.
Penulis : Jesi
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Salwa & Jesi
