Bencana banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah Aceh pada November silam mendorong Universitas Gadjah Mada menggerakkan program dukungan psikososial sebagai bagian dari respon tanggap darurat. Kini, tim lintas fakultas tengah menyusun pemetaan kebutuhan dan rencana intervensi berbasis data agar penyintas memperoleh layanan yang sesuai kondisi di lapangan. Upaya ini mencakup konsolidasi informasi kerusakan, identifikasi kelompok rentan, dan penyusunan rute asesmen cepat. Langkah tersebut menjadi dasar bagi UGM dalam memperkuat perlindungan emosional bagi warga terdampak.
Sebelum turun ke lapangan, UGM memulai respons dengan menyelaraskan rencana dan kebutuhan data melalui koordinasi lintas unit. Koordinasi awal bersama Biro Manajemen Strategis (BMS) UGM telah dilakukan untuk menyelaraskan kebutuhan data dan rencana kerja tim psikologi pada Senin (8/12) lalu. Kepala BMS, Wirastuti Widyatmanti, Ph.D., menegaskan pentingnya pemetaan fasilitas umum serta populasi terdampak untuk menentukan prioritas kunjungan lapangan. Informasi seperti jumlah anak sekolah, keluarga terdampak, serta lokasi fasilitas umum menjadi acuan bagi tim penyusun peta kebutuhan. “Informasi jumlah anak sekolah, keluarga terdampak, serta lokasi fasilitas umum menjadi krusial untuk menentukan area prioritas,” ujarnya membuka diskusi.
Hasil diskusi teknis tersebut kemudian diterjemahkan tim pemetaan ke dalam langkah operasional yang lebih rinci. Tim pemetaan kemudian mengembangkan mekanisme sinkronisasi data agar informasi spasial dapat diakses dengan mudah meski konektivitas di lapangan terbatas. Data mengenai shelter, fasilitas kesehatan, dan aksesibilitas dihimpun dari berbagai jaringan yang sudah berada di Aceh. Koordinasi juga dilakukan dengan BNPB dan pemerintah daerah karena pembaruan mengenai kondisi wilayah, kebutuhan penyintas, serta kesiapan layanan dasar terus berkembang dari waktu ke waktu. “Kami sedang mengumpulkan dan menyinkronkan data agar tim Fakultas Psikologi bisa bergerak lebih tepat dan cepat,” ucap Wirastuti.
Sejalan dengan penyusunan basis data tersebut, Fakultas Psikologi UGM juga menyiapkan penguatan kapasitas bagi relawan dan mitra lokal untuk memperkuat kesiapan intervensi. Diana Setiyawati, Ph.D., Psikolog, menyampaikan bahwa pembaruan kondisi lapangan diperlukan agar asesmen dan pendampingan tidak berjalan tanpa arah. Pemetaan kebutuhan psikososial perlu dipadukan dengan data spasial agar wilayah dengan beban terdampak tinggi dapat diidentifikasi secara lebih akurat. “Kami sangat berharap mendapatkan update data agar dapat mengembangkan respon jangka pendek dan jangka panjang yang bersinergi,” kata Diana, Rabu (10/12).
Pelatihan ini menjadi bagian dari upaya memastikan relawan memahami prinsip pendampingan psikososial sebelum bertugas. Selanjutnya Fakultas Psikologi UGM menyelenggarakan pelatihan daring bagi relawan dari Universitas Syiah Kuala. Materi yang disampaikan mencakup literasi kesehatan mental di konteks bencana serta keterampilan Psychological First Aid. Pelatihan dirancang untuk membantu relawan memberi rasa aman dan kenyamanan emosional bagi penyintas. “Minimal relawan mampu membantu tanpa menambah beban psikologis melalui kata atau tindakan yang kurang tepat,” ujar Diana.
Pelatihan tersebut menjadi penting mengingat respons awal di lapangan kerap melibatkan aktivitas yang belum sepenuhnya sesuai pedoman dukungan psikososial. Diana menyoroti kecenderungan penggunaan istilah trauma yang tidak tepat dalam pemberitaan maupun aktivitas pendampingan. Ia menjelaskan bahwa reaksi emosional warga saat ini masih tergolong wajar dalam situasi pascabencana sehingga penanganan harus disesuaikan dengan fase pemulihan. “Tantangan besar adalah koordinasi dan miskonsepsi media terkait istilah trauma karena saat ini warga belum berada pada fase gangguan psikologis jangka panjang,” ungkapnya.
Dengan bekal tersebut, tim psikologi kemudian menyiapkan langkah asesmen cepat yang akan dilakukan langsung di wilayah terdampak. Tim Psikologi UGM akan bergerak ke Aceh pada 10 sampai 20 Desember untuk melakukan asesmen cepat di empat lokasi yaitu Bireuen, Pidie Jaya, Lhokseumawe, dan Aceh Utara. Asesmen ini mencakup pemetaan kebutuhan dukungan psikososial, kondisi shelter, serta tingkat kerentanan kelompok terdampak. Data awal dari relawan mitra digunakan untuk menyusun rute dan fokus pendampingan sesuai kondisi masing-masing wilayah. “Rapid assessment dijadwalkan 15 Desember agar kami dapat segera memetakan beban psikologis dan kebutuhan mendesak di lapangan,” jelas Diana.
Hasil asesmen ini akan menjadi dasar intervensi lanjutan yang diharapkan dapat memperkuat proses pemulihan warga secara berkelanjutan. Dalam koordinasi tersebut, tim juga memperhitungkan tantangan akses, kesiapan shelter, dan kesenjangan sumber daya. Beberapa wilayah seperti Aceh Tamiang masih berada pada fase pemenuhan kebutuhan dasar sehingga pendampingan psikososial direncanakan dilakukan setelah kondisi lebih stabil. Keterlibatan universitas mitra di Aceh diharapkan memperkuat kesinambungan pendampingan setelah fase tanggap darurat. “Kami berharap Universitas Syiah Kuala dapat mengambil peran kepemimpinan bersama kami dalam pendampingan jangka panjang,” kata Diana.
Upaya terpadu ini menjadi fondasi bagi pemulihan warga terdampak, terutama kelompok rentan seperti anak-anak dan keluarga yang tinggal di shelter. Dengan menggabungkan pemetaan data, pelatihan relawan, dan asesmen lapangan, UGM berupaya memastikan intervensi psikososial berjalan sistematis dan sesuai kebutuhan. Tim menegaskan bahwa dukungan psikososial penting dijaga keberlanjutannya agar pemulihan warga dapat berlangsung optimal. “Harapannya intervensi dapat berkelanjutan sehingga warga benar-benar pulih dan kembali berfungsi secara optimal,” ujar Diana.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Kompas
