Banjir yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera meninggalkan kerusakan lanskap dan meningkatkan kerentanan kawasan terhadap bencana lanjutan. Peristiwa ini memperlihatkan keterkaitan erat antara persoalan ekologis dan tata ruang dalam menentukan keselamatan wilayah. Dalam situasi seperti ini, evaluasi terhadap kebijakan kehutanan dan penataan ruang menjadi kebutuhan mendesak. Pascabencana menjadi momentum untuk menata ulang relasi antara pembangunan, perlindungan hutan, dan keselamatan masyarakat.
Hal itu mengemuka dalam diskusi lintas kementerian dan lembaga yang membahas ulang arah kebijakan pembangunan yang berlangsung di Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Rabu (17/12), dengan partisipasi akademisi dari Fakultas Kehutanan UGM Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, S.Hut., M.Si., IPU. Dalam forum tersebut, Hatma memberi perspektif langsung tentang keterkaitan pencabutan izin, restorasi hutan, dan penataan ruang ke depan. “Dalam diskusi lintas kementerian dan lembaga kemarin, kami menemukan adanya tumpang tindih kebijakan kawasan hutan dengan perizinan perkebunan dan pertambangan yang perlu dibenahi bersama,” ujarnya, Minggu (21/12).
Mayong, demikian ia akrab disapa, menyebut temuan itu berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah mencabut 22 perizinan berusaha pemanfaatan hutan. Langkah ini dipandang sebagai respons cepat untuk menekan potensi bencana lanjutan, terutama ketika dipicu oleh kondisi iklim ekstrem. Menurutnya, penghentian aktivitas dinilai dapat mengurangi gangguan terhadap ekosistem hutan yang selama ini memicu perubahan lanskap. “Pencabutan ini bisa mengurangi eskalasi kerusakan, tetapi setelah itu perlu evaluasi dan monitoring agar kelestarian lingkungan dan keselamatan kawasan tetap terjaga,” tuturnya.

Namun, pencabutan izin tidak serta-merta menyelesaikan persoalan ekosistem yang telah terdegradasi. Penataan ruang pascabencana kerap berhadapan dengan kondisi hutan rusak baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan tersebut. Menurut Mayong, pemulihan ekosistem harus dipahami sebagai kebutuhan bersama lintas sektor. “Restorasi menjadi kebutuhan bersama agar fungsi kawasan dapat kembali menopang kehidupan manusia dan melindungi wilayah di bawahnya,” katanya.
Mayong menegaskan ketika restorasi belum menjadi pijakan utama, risiko baru justru muncul di kawasan bekas izin pemanfaatan hutan. Berbagai peta kerawanan bencana sebenarnya telah tersedia dan terus diperbarui oleh lembaga terkait. Tantangannya justru terletak pada pemanfaatan data tersebut sebagai dasar penyusunan tata ruang baru. “Peta risiko bencana seharusnya menjadi bahan utama dalam penyusunan tata ruang baru agar kawasan rawan segera dipulihkan,” tegas Mayong.
Dalam situasi seperti itu, kebijakan pascabencana kerap dituntut bergerak cepat. Menurut Mayong, respons cepat ini diperlukan untuk mencegah risiko lanjutan, tetapi tetap harus diikuti langkah yang lebih mendasar. Penilaian ulang kawasan rawan, penegakan hukum, dan peningkatan kesadaran masyarakat menjadi bagian yang tidak terpisahkan. “Kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat sangat menentukan dalam menekan dampak bencana di wilayah rawan,” ucapnya.
Agar respons cepat tidak berhenti sebagai langkah jangka pendek, pembenahan struktural dinilai menjadi keharusan. Mayong menekankan pentingnya pemetaan ulang kondisi kawasan secara menyeluruh. Kawasan yang seharusnya berhutan perlu segera dipulihkan, sementara wilayah berisiko tinggi perlu dihindari sebagai kawasan hunian. “Hunian seharusnya dijauhkan dari kawasan berisiko seperti dataran banjir dan sempadan sungai,” tegasnya.
Pembenahan kebijakan akan kehilangan makna jika tidak diikuti pengawalan di tingkat implementasi. Pengawasan lapangan, penegakan hukum, serta dukungan sumber daya manusia masih perlu diperkuat agar perlindungan kawasan berjalan efektif. Pemanfaatan teknologi turut menjadi kunci agar perlindungan kawasan berjalan efektif dan bencana dapat ditekan “Kebijakan yang baik harus diikuti pengawasan dan penindakan sampai tuntas agar perlindungan kawasan benar-benar berjalan,” pungkas Mayong.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Dok. Peneliti
