
Limbah medis yang berasal dari rumah sakit dan puskesmas di DIY diperkirakan mencapai 4 ton sehari. Bahkan, untuk Rumah Sakit Sardjito dalam sehari bisa menghasilkan limbah medis mencapai 700 kilogram. Namun demikian, pengelolaan pembuangan limbah medis ini masih melibatkan pihak ketiga yang tidak secara rutin melaksanakan tugasnya. Akibatnya banyak puskesmas dan rumah sakit terancam terkena ancaman hukum karena keterlambatan membuang limbah tersebut. Untuk mengantisipasi persoalan tersebut, UGM bekerja sama dengan Kemenkes menginisiasi pembentukan komunitas limbah medis dan B3 untuk setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan di DIY. Pembentukan ini diharapkan nantinya pengelolaan medis bisa dilakukan secara cepat dan efisien dengan dikelola oleh Pemda DIY sendiri dan tidak melibatkan pihak ketiga.
Inisiator pembentukan komunitas limbah medis dan B3 DIY, Dr. Ir. Sarto, M.Sc., dari Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM mengatakan pembuangan limbah medis dari puskesmas dan rumah sakit melibatkan pihak ketiga. Namun, karena tidak diambil secara rutin oleh pihak ketiga banyak limbah medis yang menumpuk di setiap fasilitas kesehatan sehingga dianggap melanggar aturan. “Banyak ketidakpastian disitu, banyak yang berurusan dengan penegak hukum dan kita tidak ingin ini terjadi,” kata Sarto kepada wartawan usai pembentukan komunitas limbah medis dan B3 untuk setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan di DIY yang berlangsung di Gedung University Club UGM, Jumat (25/10).
Melalui pembentukan komunitas ini, kata Sarto, pihaknya akan mendorong Pemda DIY untuk mengurusi pengelolaan sampah medis secara mandiri. Selama ini pengelolaannya melalui pihak ketiga dengan lokasi pembuangan limbah ini di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. “Komunitas ini mendukung terciptanya pengelolaan limbah medis berbasis wilayah,” katanya.
Tidak hanya soal keterlambatan dalam pengambilan limbah ke setiap fasilitas kesehatan, kata Sarto, pengambilan limbah oleh pihak ketiga ini dikenakan biaya yang cukup memberatkan pihak puskesmas dan rumah sakit. Biaya untuk satu kilo gramnya berkisar Rp15 ribu hingga 25 ribu rupiah. “Selain ongkosnya mahal kita khawatir juga tidak aman,” katanya
Menurut Sarto, apabila sampah medis ini tidak dikelola dan dimusnahkan sesuai aturan bisa berdampak adanya penularan penyakit infeksius yang bersumber dari limbah tersebut.
Ia menyebutkan Pemda DIY termasuk salah satu daerah yang akan mengusulkan ke pemerintah pusat untuk mengelola limbah medis secara mandiri dengan menyediakan tempat untuk pengelolaan limbah tersebut. “Direncanakan lokasinya di sekitar TPA Piyungan,” katanya
Kaprodi S2 Kesehatan Masyarakat FK UGM, Dr. Mubasyir Hasan Basri, M.A, mengatakan saat ini pengelolaan limbah medis ini menjadi wewenang dari pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, dalam praktiknya di lapangan, perusahaan yang ditunjuk tidak sepenuhnya menjalankan tugasnya dengan baik sehingga banyak limbah yang menumpuk di rumah sakit, “Di Indonesia ini hanya ada sepuluh TPA untuk limbah medis, namun pengelolaannya melibatkan pihak ketiga,” katanya.
Menurutnya, banyak ditemukan limbah medis yang dibuang di sembarang tempat sehingga berisiko tertularnya penyakit infeksi bagi para pemulung atau petugas sampah. “Kita ingin masing-masing daerah bisa mengelola sendiri, bayangkan di DIY saja biaya yang dibayar ke pihak ketiga ini mencapai Rp22 miliar setiap tahun,” katanya.
Soal pembangunan pengelolaan sampah medis ini sudah diusulkan ke Gubernur DIY untuk segera dibangun agar pengelolaan limbah bisa dilakukan secara mandiri. “Kita akan mengawal sistem yang dibuat seperti apa dengan melibatkan partisipasi dari stakeholder. Selain itu, lewat komunitas ini kita ingin memberi kesadaran mengelola secara mandiri sampah dan limbah yang bisa didaur ulang. Jika nantinya ada di DIY prosesnya lebih sederhana,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)