Sebanyak 30 Jejaring Pusat Kajian Hukum dan Antikorupsi Perguruan Tinggi Seluruh Indonesia menyatakan sikap menolak RUU KPK yang diusulkan oleh DPR dengan mengirimkan nota keberatan kepada Presiden Joko Widodo. Pernyataan sikap dan pengiriman nota keberatan kepada presiden menolak RUU KPK disampaikan di Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) FH UGM, Rabu (11/9).
Beberapa perwakilan Pusat Kajian Antikorupsi perguruan tinggi secara bergantian menyampaikan keberatan terhadap RUU-KPK yang diusulkan DPR. Mereka menagih komitmen dan janji presiden untuk tidak membiarkan upaya-upaya pelemahan terhadap KPK dengan menolak RUU KPK.
Puluhan Pusat Kajian Hukum dan Antikorupsi masih menaruh harap kepada Presiden Republik Indonesia agar mengurungkan niat untuk mengirimkan atau menandatangani surat persetujuan terhadap RUU KPK.
Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM, Oce Madril, mengatakan melalui surat tersebut Jejaring Pusat Kajian Hukum dan Antikorupsi Perguruan Tinggi seluruh Indonesia keberatan terhadap perubahan UU KPK. Menurutnya, kerja pemberantasan korupsi seringkali terhambat akibat adanya upaya-upaya pelemahan KPK.
“Salah satu upaya pelemahan yang terjadi adalah mendelegitimasi KPK melalui perubahan UU KPK seperti yang saat ini terjadi,” ujarnya.
Upaya mengubah UU KPK telah berkali-kali digunakan untuk melumpuhkan kewenangan hingga mengganggu independensi KPK. Hal ini tentu menjadi ancaman serius bagi KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Segala bentuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi sama saja dengan mengkhianati amanat reformasi,” lanjutnya.
Melalui surat tersebut, sebanyak 30 Jejaring Pusat Kajian Hukum dan Antikorupsi Perguruan Tinggi seluruh Indonesia menagih janji Presiden Jokowi terkait penguatan KPK.
“Kami mempunyai harapan sesuai janji politik pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019, Presiden akan memperkuat KPK dan akan menghadirkan negara yang kuat untuk pemberantasan korupsi,” imbuhnya.
Dekan FH UGM, Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H., LL.M., menyatakan apa yang dilakukan para akademisi dan kalangan intelektual menyikapi RUU KPK semata-mata sebagai bentuk kepedulian dan keprihatinan. Sebab, jika mau menilik perjalanan sejarah di tingkat nasional maupun negara-negara lain maka upaya pemberantasan korupsi maupun pembentukan lembaga anti korupsi seperti KPK itu merupakan amanah reformasi.
“Artinya ini adalah kesepakatan nasional bagaimana bangsa dan negara ini membangun peradaban dan membangun tata kelola negara ke depan sehingga hal ini tentu harus dipertahankan karena selama ini yang terjadi dengan upaya pemberantasan korupsi terbukti sangat efektif dan itu dilakukan terutama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,” katanya. (Humas UGM/ Agung).