
Indonesia menghadapi tantangan berat dalam upaya untuk mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan (SDGs). Pasalnya, dari laporan yang dikeluarkan oleh Sustainable Development Report, Indonesia berada di rangking ke-102, sedangkan Malaysia, Filipina, dan Vietnam masing-masing berada pada rangking 68, 97, dan 54. “Dari 17 pilar SDGs delapan diantaranya masih mendapatkan nilai merah yang artinya masih membutuhkan perbaikan mayor,” kata Dr. Vivi Yulaswati, MSc, Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Indonesia ketika menjadi pembicara kunci dalam acara pembukaan Biennial ke 21 International Conference of Social Development (ICSD) di Grha Sabha Pramana UGM, Selasa (16/7) di Grha Sabha Pramana UGM.
Konferensi ini diselenggarakan oleh Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan International Conference fo Social Development , Arizina State University, Singapore University of Social Science dan Asosiasi Pembangunan Sosial Indonesia.
Vivi Yulaswati menjelaskan delapan pilar SDGs yang perlu mendapat perhatian serius adalah tanpa kelaparan, kesehatan yang baik dan kesejahteraan, penyediaan air bersih dan sanitasi, membangun infrastruktur berkualitas, mendorong peningkatan industri yang berkelanjutan dan mendorong adanya inovasi, mengurangi kesenjangan, menciptakan lingkungan berkeadilan, meningkatkan keadilan, perdaiaman dan institusi yang bertanggung jawab, dan kemitraan untuk mencapai tujuan SDGs.
Soal pilar SDGs tanpa kelaparan, kesehatan yang baik dan kesejahteraan, menurutnya, berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan. Ia menyebutkan secara umum masyarakat miskin dan rentan di Indonesia berjumlah 53,3 juta orang. Sementara orang miskin dan rentan ini cenderung kembali menjadi rentan dengan kemungkinan risiko yang disebabkan oleh penyakit, kehilangan pekerjaan, inflasi harga makanan, bencana alam, dan krisis ekonomi, kemiskinan kronik terus menerus dialami oleh 9,4 juta orang di Indonesia. “Secara garis besar untuk mengentaskan masalah kemiskinan maka diperlukan penguatan infrastruktur ekonomi,” katanya.
Di sisi lain, kesenjangan gender juga masih terjadi di Indonesia. Sebagian besar pekerja di sektor informal adalah perempuan. Mereka mengalami kondisi ketidaklayakan dalam bekerja seperti upah murah dan tidak dibayar. “Bahkan, gaji perempuan yang memiliki pekerjaan yang sama dengan laki-laki cenderung lebih rendah,” terangnya.
Dalam RPJMN Indonesia 2020 – 2024, kata Vivi, pemerintah telah menetapkan tiga prinsip pembangunan, yaitu mandiri, berkeadilan dan berkelanjutan. Dalam Rencana Kerja Pembangunan (RKP) 2020, program prioritas nasional adalah pembangunan manusia dan mereduksi kemiskinan dengan melakukan perlindungan sosial dan manajemen populasi. Selain itu, juga dilakukan perbaikan pengadaan pelayanan dan akses kesehatan, pendidikan yang setara, mengurangi kemiskinan, dan pencapaian kebudayaan dan karakter bangsa. “Sebagai bentuk kerja sama dengan berbagai pihak, pemerintah juga menggandeng institusi keagamaan dalam upaya untuk mencapai SDGs. Hal ini dilatarbelakangi oleh besarya populasi masyarakat Indonesia yang beragama Islam,” katanya.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dalam pidato sambutannya mengatakan tujuan pembangunan berkelanjutan SDGs memasuki tahun keempat. Menurutnya, sasaran pembangunan berkelanjutan hingga tahun 2030 tersebut mewarnai konsep pembangunan yang dilakukan oleh berbagai negara. Adapun pemerintah, kata Sri Sultan, menerapkan konsep pembangunan pentahelix yang melibatkan lima unsur. “Lima unsur saling terkait dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan itu adalah pemerintah, masyarakat, akademisi, pengusaha dan media,” katanya.
Kelima unsur kekuatan pembangunan ini, menurut Sri Sultan, bisa menjadi fondasi dalam mencapai sasaran pembangunan SDGs tahun 2030 nanti. Namun, dari konferensi soal penguatan sosial dalam mendukung pencapai SDGs ini, ia berharap banyak masukan hasil riset sosial dan praktik baik dari negara yang bisa dielaborasi. “Saya harapkan berbagai riset sosial dan praktik baik bisa diaktualisasi untuk pembangunan sosial untuk mencapai SDGs,” katanya.
Sementara Rektor UGM menuturkan konferensi internasional yang bertujuan untuk memperkuat pembangunan sosial untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berlangsung di UGM ini sangat relevan untuk masalah global, khususnya dalam upaya mempercepat pembangunan di setiap negara, termasuk Indonesia. “Pemerintah kami telah bekerja keras untuk tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDG, dengan melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan seperti universitas,” katanya.
Rektor berharap konferensi ini bisa menampilkan temuan penelitian yang brilian serta forum yang tepat untuk diskusi kritis dan menyusun ide-ide kreatif untuk diterapkan di masyarakat. “Saya percaya bahwa para ahli dalam konferensi ini adalah akademisi luar biasa yang akan memperkenalkan kita pada pengetahuan baru dan memperkaya konferensi ini dengan manfaat sebanyak mungkin untuk semua peserta,” katanya.
Seperti diketahui, sebanyak 250 ahli pembangunan sosial dari 28 negara akan menyampaikan pemikirannya dan pengalaman praktis masing-masing negara dalam konsep penguatan pembangunan sosial untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan berkelanjutan (SDGs). Konferensi Biennial Internasional yang mengangkat tema soal penguatan pembangunan sosial ini diprakarsai oleh Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM dan akan berlangsung pada 16-19 Juli mendatang di Kampus UGM. (Humas UGM/Gusti Grehenson)