Sebanyak 250 ahli pembangunan sosial dari 28 negara akan menyampaikan pemikirannya dan pengalaman praktis masing-masing negara dalam konsep penguatan pembangunan sosial untuk mendukung pencapaian sasaran pembangunan berkelanjutan (SDGs). Konferensi Biennial Internasional yang mengangkat tema soal penguatan pembangunan sosial ini diprakarsai oleh Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM akan berlangsung pada 15-19 Juli mendatang di Kampus UGM.
Dekan Fisipol UGM, Dr. Erwan Agus Purwanto, mengatakan pertemuan para ahli sosial dunia ini diharapkan memberi manfaat nyata bagi Indonesia dan negara-negara berkembang di seluruh dunia. “Bagi kita, bisa muncul gagasan dan konsep pembangunan manusia dan sosial seperti yang sesuai dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo untuk lima tahun mendatang, sehingga rekomendasi dari pertemuan sangat ditunggu,” kata Erwan kepada wartawan, Senin (15/7) di Ruang Dekanat Fisipol UGM.
Prof. Dr. Manohar Pawar, President International Conference for Social Development (ICSD) dari Charles Sturt University, Australia, mengatakan konsorsium internasiobal ICSD ini sudah ada sejak lima puluh tahun lalu. Komunitas ini mengkaji berbagai konsep pembangunan sosial pada tahun 1970. “Tujuan utama konsorsiun ini untuk meningkatkan kesadaran semua orang tentang pentingnya penguatan pembangunan sosial di seluruh dunia,”katanya.
Pendapat yang sama disampaikan oleh Peneliti Sosial dari Arizona State University, Amerika Serikat, Prof. David Androff, yang mengatakan pelaksanaan konferensi ICSD ke-21 ini memang difokuskan pada perkembangan sosial masyarakat global sekaligus mempromosikan soal kesetaraan dan keadilan sosial. “Kita ingin memperkuat dukungan kebijakan pembangunan sosial, kesetaraan, gender dan HAM,”ujarnya.
Menjawab pertanyaan wartawan soal ketimpangan sosial yang terjadi di Indonesia dan negara berkembang lainnya, Manohar Pawar mengatakan kebijakan pembangunan sosial yang dilakukan pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan konsep pembangunan sosial yang benar. Menurutnya, untuk menurunkan angka ketimpangan sosial Indonesia tidak harus bercermin dari negara lain. “Saya meilhat ketimpangan sudah menurun, PDB meningkat dan pembangunan infrastruktur meningkat, namun perlu memperkuat aspek pendidikan dan kesetaraan dengan melibatkan sumber daya dan institusi lokal,” katanya.
Untuk menekan tingkat ketimpangan, Erwan menilai pendekatan ekonomi tidak harus lewat konglomerasi seperti yang dilakukan oleh Jepang dan Korea. Sebab, di era digitalisasi sekarang Indonesia setidaknya sudah berhasil menguatkan literasi digital dengan munculnya startup baru yang mampu menggerakan banyak orang terlibat secara ekonomi dengan hadirnya perusahan rintisan yang bisa jadi perusahaan multinasional. “Kesempatan itu bisa digunakan sebaik baiknya dalam pengembangan SDM,”ujarnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)