
Beberapa tahun belakangan, penderita HIV/AIDS dari tahun ke tahun di dunia terus meningkat. Jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan mencapai 242.699 orang. Namun hingga sampai saat ini belum ada obat atau treatment khusus untuk menyembuhkan atau menghilangkan virus HIV. Satu-satunya upaya yang dapat dilakukan melalui pengobatan antiretroviral (ARV) untuk menekan jumlah virus yang ada di dalam tubuh. Meskipun ARV mendatangkan manfaat, terdapat tantangan yang harus dihadapi soal kepatuhan mengkonsumsi obat dan perilaku sehat ODHA. Sebab kepatuhan pengobatan akan mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan yang menjadi faktor penting bagi pasien dan keberhasilan program pengobatan HIV/AIDS.
Berkaitan dengan hal tersebut, tim mahasiswa UGM yang beranggotakan Isma Syafira Pratama dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan bersama dua mahasiswa Psikologi, yakni Susnanda Virginia Yosian dan Rahardian Rizal Akmal membuat inovasi program untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan ARV pada ODHA. Program yang mereka namakan ARVA-CEA yang merupakan metode terapi untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan ARV pada penderita HIV/AIDS yang berfokus untuk meningkatkan tiga aspek psikologis yaitu penerimaan diri, perasaan welas asih, dan efikasi diri. “Ketiga aspek psikologis ini akan meningkatkan kepatuhan pengobatan pada ODHA,” kata Isma dalam rilis yang dikirim ke wartawan, Kamis (11/7).
Seperti yang diketahui, untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan ARV banyak menghadapi kendala faktor eksternal seperti dukungan keluarga, caregiver, ketersediaan obat, dan sebagainya. “Inovasi yang kami berikan dalam penelitian ini yaitu dengan menitikberatkan pada faktor internal ODHA dalam meningkatkan kepatuhan pengobatan ARV,” katanya.
Produk dari penelitian Isma bersama rekannya ini berupa modul terapi ARVA-CEA yang berisikan terapi mindfulness atau peningkatan kualitas kesadaran diri dan tayangan video inspiratif dari role model. Terapi ini bisa akan sikap penerimaan diri penderita ODHA. “Modul ini digunakan oleh praktisi dan psikolog sebagai buku panduan dalam memberikan terapi kepada ODHA,” ujarnya.
Bentuk terapi ARVA-CEA ini dilakukan selama 4 kali pertemuan. Pertemuan pertama berupa psikoedukasi dimana ODHA diberikan materi mengenai mindfulness dan latihan pernafasan. Lalu pada pertemuan kedua, peserta diajarkan mengenal kesadaran seperti kesadaran pernafasan, pikiran dan deteksi tubuh melalui meditasi. “Pertemuan ketiga berupa kesadaran mencintai diri sendiri yang mengajarkan ODHA untuk menerima keadaan dirinya, mencintai diri sendiri dan orang lain melalui meditasi cinta kasih,” katanya.
Selanjutnya, pada pertemuan keempat diberikan tayangan video inspiratif berupa role model yang sudah memiliki kepatuhan tinggi dalam pengobatan ARV dan sukses menjalani kehidupannya. “Setelah itu peserta diberikan meditasi compassionate ideal. Selain itu, ODHA juga diminta untuk mempraktekkan meditasi secara mandiri yang ditugaskan dan dipantau melalui buku harian,” ujarnya.
Isma menuturkan inovasi yang mereka lakukan sejalan dengan program pemerintah program kesehatan Three Zeroes, yakni zero new HIV infection, zero AIDS related death dan zero discrimination yang dicanangkan oleh Kemenkes. Ia berharap program ARVA-CEA diharapkan dapat membantu upaya pemerintah dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia sehingga angka kematian akibat HIV/AIDS dapat berkurang. (Humas UGM/Gusti Grehenson)