
Usaha bidang perunggasan khususnya peternakan ayam komersial dan pembibitan di Indonesia merupakan usaha peternakan yang paling maju dan berkembang. Pertumbuhan populasi unggas dalam kurun waktu lima tahun terakhir cukup menggembirakan. Hingga tahun lalu, jumlah populasi ayam broiler mencapai 1,9 miliar ekor dan populasi ayam petelur mencapai 161,75 juta ekor.
Di balik perkembangan industri perunggasan yang semakin meningkat, kendala utama yang sering menjadi hambatan pertumbuhan populasi dan produktivitas unggas adalah penyakit infeksi yang menghambat pertumbuhan salah satunya infeksi penyakit Avian Influenza (AI) atau lebih dikenal dengan nama flu burung. Hingga Maret 2019 lalu, berdasarkan data dari jejaring Influenza Virus Monitoring (IVM) online sebanyak 87.532 sampel masuk yang terdiagnosis penyakit AI, namun terkonfirmasi sebanyak 4.348 kasus.
Wabah infeksi AI diketahui menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat tinggi karena menyebabkan penurunan produksi telur pada ayam, burung puyuh, dan itik petelur serta menyebabkan kematian tinggi di berbagai spesies unggas. Masih munculnya persoalan penyebaran penyakit AI di industri perunggasan hingga sampai saat ini menurut peneliti unggas dari Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Prof. Dr. drh. Michael Haryadi Wibowo, M.P., disebabkan akibat praktik biosekuriti mulai kendur dilaksanakan atau bahkan dapat dikatakan telah diabaikan. Ia mencontohkan, pada tingkat operasional di lapangan banyak dijumpai kotak telur dan keranjang ayam broiler yang keluar masuk farm tanpa perlakuan desinfeksi secara memadai. Padahal, sejumlah prosedur pengamanan diperlukan untuk membatasi kontak agen penyebab penyakit dengan unggas.
Menurutnya, sanitasi dan desinfeksi mempunyai peran penting menurunkan populasi virus AI di kandang karena dapat merusak amplop virus. “Respetor yang menempel pada amplop virus menjadi rusak dan tidak fungsional sehingga proses infeksi menjadi gagal,” ujar Michale Haryadi dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar di ruang balai senat UGM, Selasa (9/7).
Faktor lain yang tidak kalah penting, menurut Haryadi, adalah lalu lintas unggas yang sejauh ini belum dapat sepenuhnya dikendalikan. Sebab, transportasi unggas dari farm ke pasar unggas hidup dan depo penjualan ayam hidup yang berasal dari berbagai lokasi, umur dan spesies unggas memungkinkan terjadi penularan dan propagasi virus AI. “Mata rantai lalu lintas tersebut perlu mendapatkan penanganan tersendiri untuk mengurangi risiko penularan persistensi dan infeksi virus AI,” katanya,
Ia menegaskan strategi vaksinasi saat ini masih menjadi pilihan dalam menanggulangi penyakit AI. Sebab, vaksinasi selama ini dipandang sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kekebalan terhadap penyakit AI dan mengurangi populasi unggas peka.”Jika unggas divaksinasi diharapkan dapat mencegah kematian, menekan penyebaran virus ke lingkungan dan menjaga produktivitas,” terangnya.
Namun demikian, vaksin yang sering digunakan di Indonesia merupakan vaksin inaktif yang ber-adjuvant minyak dan diproduksi pada telur ayam berembrio. Sebenarnya sudah banyak dilaporkan bahwa penggunaan vaksin in-aktif virus utuh di negara endemis dalam mengalami kegagalan vaksinasi. Kegagalan vaksin tersebut disebabkan kuantitas antigen tidak memadai dan ketidakcocokan antara seed vaksin dan virus yang bersirkulasi. Selain itu, kegagalan vaksin diakibatkan kesalahan teknis saat vaksinasi dan penanganan vaksin jadi gagal menginduksi kekebalan yang diharapkan. Tidak hanya itu, imbuhnya, penggunaan vaksin inaktif adjuvant minyak pada broiler mempunyai kendala karena siklus produksi yang pendek. “Saya perkirakan hanya 15-20% total populasi broiler di indonesia yang divaksin AI sehingga memberikan peluang individu yang peka terhadap infkesi virus capai 80-85%,” katanya.
Menurutnya, di beberapa negara maju telah diadopsi dan digunakan teknologi vaksin rekombinan yang dipercaya lebih aman karena tidak menggunakan virion AI utuh. Keuntungan lain, vaksin rekombinan ini dapat menginduksi tidak hanya kekebalan humoral tetapi kekebalan seluler termasuk perangkat imunitas terhadap virus. “Menurut hemat saya, kita tidak boleh alergi dengan teknologi maju yang sudah banyak digunakan dan terbukti memberikan keuntungan bagi industri perunggasan,” katanya.
Soal perkembangan virus AI di tanah air, Michael Haryadi menyebutkan saat ini terdapat introduksi virus baru sub-sub clade 2.3.2 dan subtipe H9N2. Bahkan, Virus AI yang bersirkulasi memperlihatkan adanya dinamika molekuler, klinis, patologis dan imunologis. Menurutnya, pemerintah dan para pemangku kepentingan perunggasan tidak boleh lengah dan tetap serius dalam menangani penyakit AI yang hingga sampai sekarang ini masih menjadi problem utama di Industri perunggasan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)