Akhir bulan Juni kemarin embun beku atau yang dikenal masyarakat Jawa dengan istilah embun upas mulai muncul di kawasan Dieng, Jawa Tengah. Embun upas terjadi akibat suhu ekstrem di bawah titik beku sehingga memproses embun menjadi es.
Kemunculan embun upas yang terus terjadi setiap harinya berdampak pada tanaman pertanian di sekitar Dieng. Banyak tanaman sayuran yang dibudidayakan masyarakat setempat, seperti kentang, wortel, kubis, cabai, dan tomat menjadi tertutup embun upas.
Ketika terjadi embun upas, umumnya petani akan melakukan penyiraman pada lahan pertaniannya untuk mencairkan es yang menempel pada tanaman. Namun, penyiraman yang dilakukan petani akan menyebabkan kelebihan air pada tanah (drainage stress) dan meningkatkan potensi serangan hama dan penyakit tanaman. Hal tersebut terjadi karena jumlah air yang disiramkan melebihi kebutuhan air tanaman.
“Penyiraman pada tanaman muda menyebabkan kerusakan batang/cabang/daun karena embun es dan pukulan air irigasi (sistem semprot) menambah beban tanaman,” ungkap Kholishotul Ma’rifah, mahasiswa Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem Fakultas Teknologi Pertanian (DTPB FTP) UGM, Senin (1/7) di Kampus FTP UGM.
Tidak hanya itu, Ma’rifah menyebutkan penyiraman pada pagi hari sangat tergantung pada jam aktivitas petani. Untuk itu, diperlukan pemberian irigasi dengan debit kecil, lembut, dan sesuai dengan kebutuhan air tanaman.
Melihat kondisi tersebut ia dan dua rekan satu departemennya, yaitu Setiyawati, dan Denis Tio Yudhistira serta Muhammad Fiqi Rohman dari Sekolah Vokasi memperkenalkan sebuah metode untuk menangani persoalan itu. Metode tersebut dinamai Mist Irrigation Pencegah Emembun upas yang disingkat MISI HEMPAS sebagai upaya peningkatan produktivitas sayuran kelompok tani di wilayah Dieng. Teknologi ini lahir melalui kegiatan Program Kreatifitas Mahasiswa-Teknologi (PKM-T) di bawah bimbingan Dr. Ngadisih.
Ma’rifah menyebutkan metode MISI HEMPAS telah diimplementasikan pada Kelompok Tani Tamansari di Desa Leksana, Kecamatan Karangkobar, Kabupaten Banjarnegara. Alat sudah dipasang di lahan pertanian milik salah satu anggota kelompok Tamansari, Sugiyanto, pada Selasa (25/6). Di lahan berukuran 2 m x 3 m yang ditanamai tanaman cabai ini diberi irigasi sprinkle otomatis, sedangkan 1 petak yang lainnya akan diberi perlakukan kontrol yakni irigasi siram manual.
Dijelaskannya, sistem irigasi sprinkle otomatis dibuat dengan menggunakan pompa air untuk mengalirkan air dari tampungan. Pompa air dihubungkan ke mikrokontroler bebasis Arduino Uno dengan menggunakan sensor DHT11 untuk membaca suhu dan kelembaban udara lingkungan. Pada bagian mode otomatisnya digunakan relay 1 pin yang berfungsi sebagai saklar yang dihubungkan antara pompa dengan mikrokontroler.
Rangkaian irigasi sprinkle ini, lanjutnya, telah diuji di laboratorium Teknik Sumber Daya Lahan dan Air FTP UGM dan menunjukkan keseragaman tetesan 80%. Sistem irigasi sprinkle disetting menyala ketika suhu udara mencapai kurang dari 10C dan kelembaban udara lebih dari 80%. Selanjutnya akan mati ketika suhu udara lebih dari 10C kelembaban udara kurang dari 80%.
”Dengan metode ini harapannya dapat membantu para petani di daerah Dieng dalam mengatasi embun upas sehingga produktivitas pertanian tetap terjaga,” tutupnya. (Humas UGM/Ika)