Kondisi hutan jati monokultur merupakan habitat melimpah bagi hama dan penyakit. Dalam hutan jati seperti ini, sering kali terjadi ledakan populasi dan penyakit. Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah serangan ulat jati (H. puera) secara terus-menerus. Dari tahun ke tahun, ulat jati bahkan menjadi hama utama tanaman jati sehingga menyebabkan defoliasi tajuk secara total.
Menurut dosen Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Ir. Enggar Apriyanto, M.Agr.Sc., tegakan jati yang mendapat serangan berat akan kehilangan daun dan tampak gundul meski pada musim hujan sekalipun. Kerusakan tersebut menyebabkan perpendekan waktu pertumbuhan tinggi dan diameter pohon yang pada akhirnya menurunkan volume tegakan. “Tanaman jati umur 14 tahun yang terserang ulat jati dan mengalami defoliasi sedang sampai berat secara berturut-turut dapat kehilangan volume sampai 44% atau 3,7 m2 per tahun per ha,” ujarnya di Fakultas Kehutanan UGM, Kamis (25/2), saat ujian terbuka Program Doktor Ilmu Kehutanan.
Meskipun serangan ulat jati menimbulkan kerugian secara ekonomi dan mengganggu pengelolaan ekosistem hutan secara berkelanjutan, upaya-upaya pengendalian terhadap ulat jati pada ekosistem hutan jati di Indonesia masih belum dilakukan. Dikatakan Enggar, usaha pengendalian ulat jati baru dilakukan sebatas di persemaian dan kebun pangkas. “Oleh karena itu, usaha pengendalian harus segera diupayakan secara komprehensif untuk memperkecil kerusakan yang ditimbulkan oleh hutan jati,” tutur pria kelahiran Magetan, 7 April 1961 ini.
Dalam pandangan suami Indah Manfa’ati dan ayah Gavan Fikri Athalah M. ini, pengendalian hama terpadu menjadi pilihan yang baik untuk menyelesaikan masalah hama. Dalam kaitan dengan hal itu, aspek-aspek ekologi, ekonomi, dan sosial dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan. Dengan demikian, pemahaman terhadap dinamika populasi serangga, dinamika tanaman inang, dan faktor lingkungan menjadi informasi mendasar guna mendukung pengendalian hama terpadu.
Penelitian yang dilakukan Enggar di bagian Hutan Walikukun Selatan dan Utara KPH Ngawi pada periode Juli 2007 sampai dengan Agustus 2008 menunjukkan populasi ulat jati pada akhir musim kemarau dan awal musim hujan didominasi oleh larva muda yang merupakan indikasi awal peningkatan populasi. Stadia telur dan stadium larva kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan kelima secara bersamaan diketahui sebagai penyusun struktur populasi ulat jati pada musim hujan, saat-saat kerapatan populasi tinggi.
“Ulat jati memiliki lebih kurang 17 generasi dalam satu tahun. Kehadiran larva pada setiap pengamatan di ekosistem jati juga memperkuat bukti bahwa hama ulat jati tidak mengalami fase istirahat pada saat musim kemarau, di mana sebagian besar tegakan jati menggugurkan daun,” jelas Enggar. Oleh karena itu, untuk mengatasi hama ini dibutuhkan predator pemakan ulat jati. Beberapa predator yang dimaksud, antara lain, Philantus sp. Syrphid, belalang simbah, Cocconelia transversalis, laba-laba, semut merah, semut hitam, dan burung pentet (Lanius christalus).
Peran dan keanekaragaman musuh alami ini dapat ditingkatkan dengan memperbaiki ekosistem hutan jati, yaitu dengan menggalakkan tanaman sela. “Yaitu dengan meningkatkan keanekaragaman hayati, mengatur struktur umur, menjaga hutan dari kerusakan seperti kebakaran, penjarahan, penggembalaan, dan fragmentasi,” kata Enggar Apriyanto yang dinyatakan lulus program doktor UGM dengan predikat cum laude. (Humas UGM/ Agung)