Wilayah budaya Jawa, Bali, dan Sunda memiliki persamaan akar sejarah yang berasal dari Majapahit. Adanya kontak budaya Majapahit secara langsung dengan budaya Jawa dan Bali berpengaruh terhadap beberapa nilai kebangsawanan kehidupan dua wilayah ini. “Jejak ini salah satunya bisa dilihat dengan mengamati struktur pertunjukan yang terdapat dalam dramatari wayang wong Yogyakarta dan Gambuh,” kata Trianti Nugraheni, M.Si., staf pengajar FPBS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Selasa (21/9), di Sekolah Pascasarjana UGM.
Disampaikan Trianti saat mempertahankan disertasinya yang berjudul “Karakter Puteri pada Dramatari Klasik di Wilayah Budaya Jawa, Bali, dan Sunda”, bila dilihat sekilas kedua dramatari ini seperti tidak memiliki kemiripan satu sama lain. Namun, jika ditilik lebih jauh, terdapat kesamaan dalam tata cara yang digunakan untuk mengatur gerak, busana, rias, dan dialog yang dilakukan antartokoh. “Keduanya selalu menempatkan hierarki dalam karakteristik tokoh. Konsep halus dan kasar yang dianut bangsawan sangat kental terutama dalam penggunaan bahasa yang berbeda saat berdialog,” urai wanita kelahiran Klaten, 16 Maret 1973 ini.
Menurut Trianti, adanya perbedaan tersebut dipengaruhi oleh sistem pemerintahan raja dewa yang dianut di Keraton Yogyakarta dan di puri Bali. Konsep itu telah menempatkan raja sebagai reinkarnasi dewa yang wajib dihormati oleh rakyatnya.
Dijelaskan Trianti bahwa untuk daerah Sunda, pengaruh budaya Mataram tidak begitu besar layaknya dua wilayah sebelumnya karena kontak budaya terjadi secara tidak langsung. Bila diamati sekilas tidak terdapat perbedaan dalam struktur pertunjukan wayang wong Yogyakarta dengan Priangan. Keduanya tampak sama jika dibandingkan dari aspek struktur koreografi, rias, dan busana. Konsep hierarki masih terlihat dalam kedua dramatari ini. “Tapi jika dikaji lebih dalam tentang dialog yang dilakukan antartokoh dan gerak yang dilakukan antartokoh putri yang berkarakter lungguh dan ladak, maka perbedaannya sangatlah tipis,” terangnya.
Lebih lanjut disebutkan istri Kiki Mulyakin, S.Sn. ini, kontak budaya yang terjadi di Sunda hanya berpengaruh pada struktur pertunjukan wayang wong Priangan saja, tidak mendalam hingga menyentuh tata cara berdialog, seperti halnya pada wayang wong Yogyakarta dan Gambuh.
Karakter penari putri pada dramatari wayang wong Yogyakarta, Gambuh, dan Priangan ditampilkan sebagai sosok putri yang feminim. Meskipun digambarkan sebagai sosok feminim, karakter penari putri dalam wayang wong Yogyakarta, Gambuh, dan Priangan memiliki beberapa perbedaan. Karakter putri Jawa lebih mengutamakan kehalusan, keteraturan, dan pengendalian. Karakter putri Bali mengutamakan kontras dan kemandirian, sedangkan karakter putri Sunda mencerminkan pribadi yang enerjik, adaptif, dan inovatif.
“Feminitas karakter putri Jawa dibangun dari konsep harmoni sehingga membangun kesan sosok introvert, sementara karakter putri Bali dibangun dari konsep kontras sehingga terbentuk kesan sosok yang sangat ekstrovert. Sama halnya dengan karakter putri Sunda terkesan ekstrovert karena dibangun dari sifat yang inovatif,” kata ibu dua putra ini. (Humas UGM/Ika)