YOGYAKARTA (KU) – Udang windu (Penaeus monodon fabr.) merupakan salah satu unggulan sektor perikanan dan kelautan nasional yang banyak dibudidayakan meskipun beberapa jenis udang telah dikembangkan dan dibudidayakan di Indonesia, antara lain udang galah, udang putih, udang vanamei, dan udang windu. "Jenis udang yang dapat diterima di masyarakat adalah udang windu karena dari segi harga tetap stabil dan teknologi pembudidayaannya telah banyak dikuasai masyarakat serta rasa dagingnya nikmat," kata Kepala Balai Karangtina Klas I Juanda, Surabaya, Drs. Burhaidin, S.Pi., M.P.,dalam ujian promosi terbuka untuk memperoleh gelar doktor di Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Selasa (21/9).
Pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 10 Desember 1962 ini menuturkan dalam sepuluh tahun terakhir tingkat produksi budidaya udang windu secara nasional mengalami penurunan menjadi 70 ribu ton per tahun. Tahun ini, pemerintah menargetkan produksi udang nasional mencapai 699.000 ton, naik hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya sebesar 348.100 ton.
Penurunan produksi udang windu ini, menurut Nurhaidin, disebabkan oleh serangan penyakit pada udang terutama white spot syndrome virus (WSSV). Walaupun secara teknis telah dilakukan sesuai dengan persyaratan standar pada kegiatan pembenihan, kematian benih udang yang disebabkan oleh serangan WSSV masih cukup tinggi, yakni mencapai 60-70 persen. "Virus penyebab WSSV merupakan virus eksotik yang tetap bersifat infektif meskipun dalam kondisi beku. Penularan penyakit ini berasal dari spesies udang impor terhadap spesies udang lokal yang dapat terjadi apabila virus dapat beradapatasi pada inang baru," kata lulusan program master FKH ini.
Deteksi adanya infeksi WSSV ini, kata Nurhaidin, diharuskan menggunakan metoda yang sensitif dan akurat dalam manajemen kesehatan satwa akuatik. Di antara metoda yang telah dikembangkan oleh para ahli itu, yakni metoda berbasis DNA seperti polymerase chain reaction (PCR) yang dianggap paling tepat untuk diagnosis dan deteksi cepat penyakit viral pada udang dan moluska. "Saat ini, teknologi berbasis DNA, terutama PCR, telah diaplikasikan secara luas di bidang akuakultur. Meskipun sangat potensial, tetapi penggunaan teknologi diagnostik berbasis DNA secara rutin tetap mempunyai beberapa masalah karena sensitivitas yang tinggi mengakibatkan uji tidak dapat membedakan antara patogen yang hidup dengan yang mati dan akibat infeksi atau kontaminasi," imbuhnya.
Berdasarkan penelitian Nurhaidin terhadap 75 ekor udang windu dari tambak udang windu di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, seperti Maros, Pangkep, Pinrang, Barru, Takalar, Majene dan Bonne, serta Makassar, diketahui deteksi WSSV pada udang windu dengan menggunakan metoda PCR cukup efektif meski diketahui tingkat sensitivitas dan spesifikasi masih relatif rendah. "Tingkat sensitivitas dan spesifisitasnya, 72% dan 66%," terangnya. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan pengetahuan tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan dan dihindari sehingga uji PCR yang akan diaplikasikan memiliki akurasi diagnostik yang tinggi terkait dengan gejala klinis dan lesi patologis, waktu pengambilan sampel, dan kesalahan human error.
Nurhaidin menjelaskan udang windu yang terjangkiti WSSV menunjukkan gejala bintik-bintik berwarna keputihan berdiameter 1 cm pada permukaan eksosskeleton dan keseluruhan tubuh udang berwarna merah jambu hingga merah kecoklatan. (Humas UGM/Gusti Grehenson)