YOGYAKARTA-Praktik tindak korupsi ditengarai semakin liar terjadi di dunia peradilan Indonesia. Kasus Gayus Tambunan yang diduga menggelapkan uang pajak lebih dari 28 miliar dan menyeret aparat penegak hukum yang terlibat di dalamnya baru satu contoh praktik korupsi. Masih banyak lagi kasus serupa yang kemungkinan belum terungkap.
Demikian disampaikan oleh dosen hukum, yang juga advokat, Iwan Satriawan, S.H., M.C.L., Ph.D., dalam Seminar "Melawan Korupsi untuk Indonesia yang Lebih Baik" di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Senin (6/12). “Gayus hanya satu contoh kasus saja dan praktik korupsi semakin liar saja terjadi di dunia peradilan kita,” kata Iwan.
Kedua, pengawasan, khususnya pengawasan internal, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sejauh ini tidak efektif dan tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itulah, kemudian lahir lembaga pengawasan eksternal, seperti Komisi Yudisial hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Maka yang harus dikedepankan dan jadi prioritas adalah mengubah mentalitas aparat penegak hukum dan menciptakan pengawasan yang optimal sehingga praktik korupsi bisa dicegah,” imbuh Iwan.
Di tempat yang sama, Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum, Denny Indrayana, kembali mengingatkan semua pihak agar lebih serius mencermati kemungkinan tindak korupsi yang terjadi di dua wilayah, yakni pajak dan cukai, serta korupsi di penegakan hukum (judicial corruption). “Tujuh puluh persen penerimaan negara kita itu berasal dari pajak dan cukai sehingga seperti yang dilakukan oleh Gayus, maka korupsi di pajak dan cukai ini sangat terbuka dilakukan,” kata Denny.
Menurut Denny, dari dua hal tersebut, pemberantasan mafia peradilan layak diprioritaskan. Dalam pandangannya, jika kasus mafia peradilan tidak ditangani, mustahil pemberantasan kasus korupsi lainnya dapat dilakukan. Ia juga menegaskan untuk memberantas korupsi tidak dapat dilakukan oleh satu institusi penegak hukum saja, tetapi harus bersama-sama, termasuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum dan KPK. “Satgas dan KPK punya wewenang yang besar sehingga koordinasi dua institusi ini sangat besar untuk memberantas korupsi,” tambah Denny.
Senada dengan Denny, Direktur Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi UGM, Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., dan peneliti Indonesian Coruption Watch (ICW), Febri Diansyah, yang mengatakan pemberantasan korupsi tidak dapat hanya berharap pada institusi, semisal DPR atau bahkan pemerintah. Apalagi dengan melihat lembaga penegak hukum saat ini yang masih terkooptasi praktik mafia. Di tengah upaya memberantas korupsi, terjadi perlawanan balik koruptor. Institusi KPK yang paling sering dilemahkan. Sementara itu, komitmen Presiden lemah untuk mendukung penyelamatan KPK.
