YOGYAKARTA-Kepala Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM, Prof. Dr. Junun Sartohadi, M.Sc., mengatakan jalan raya sekitar Jumoyo yang menghubungkan Yogyakarta-Semarang merupakan wilayah sedimentasi. Oleh karena itu, ketika banjir lahar dingin menerjang Kali Putih otomatis akan naik dan meluber melalui jalan raya tersebut seperti yang terjadi Minggu (9/1) malam. “Wilayah itu kan sebenarnya daerah sedimentasi sehingga tentu masih akan dilewati kalau banjir lahar dingin terjadi,” kata Junun, Senin (10/1).
Karena menjadi wilayah sedimentasi, ketika banjir lahar dingin hebat, daerah tersebut terkena imbasnya. Kali Putih dan Kali Krasak memiliki kandungan sedimentasi material vulkanik terbesar dibandingkan dengan beberapa sungai lain. Diusulkan Junun, untuk mengurangi dampak luapan banjir lahar dingin, kondisi jalan raya Jumoyo dapat dibuat lebih tinggi. Dengan jalan yang dibuat lebih tinggi, gorong-gorong di bawahnya akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. “Makanya, antara pihak Dinas Pengairan dengan Bina Marga (PU) bisa koordinasi dan kerja sama untuk pembuatan gorong-gorong maupun untuk membuat kondisi jalan agar bisa “melambung” lebih tinggi lagi,” imbuh Guru Besar Fakultas Geografi tersebut.
Beberapa sungai di sekitar lereng Merapi selama ini dibagi menjadi dua, yakni di bagian lereng selatan, meliputi Kali Gendol, Kuning, dan Code, dan di bagian barat-barat daya, meliputi Kali Krasak, Batang, Putih, Blongkeng, dan Pabelan. Dari beberapa sungai tersebut, Kali Putih dan Krasak mempunyai kandungan sedimentasi terbesar daripada yang lain. “Kali Putih dan Krasak mempunyai kandungan sedimentasi terbesar. Kalau untuk sekitar Yogyakarta, Kali Gendol dan Opak lah yang patut diwaspadai karena jumlah material vulkaniknya yang tertahan di atas masih cukup besar,” tutur Junun.
Selain itu, terjadinya luapan banjir lahar dingin disebabkan oleh jarak sumber material di Kali Putih dengan jalan raya Jumoyo lebih dekat dibandingkan dengan beberapa sungai lain, seperti Blongkeng dan Batang. Akibatnya, ketika dipicu hujan deras, Kali Putih meluap. Dalam kesempatan itu, Junun mengatakan banjir lahar dingin Merapi masih tetap mengancam, setidaknya hingga puncak musim hujan pada Februari depan. “Ya, kasus seperti yang terjadi di jalan raya Jumoyo dengan luapan material vulkanik Merapi masih tetap bisa mengancam, setidaknya hingga puncak musim hujan di bulan Februari,” kata Junun.
Selain menyoroti hal itu, Junun Sartohadi juga menyayangkan kebijakan pemerintah pusat yang dinilainya “memanjakan” masyarakat korban bencana, khususnya bencana erupsi Merapi. Pemerintah seharusnya tidak serta merta memberikan bantuan berupa uang tunai sebagai bentuk ganti rugi untuk masyarakat. Pemerintah dapat mewujudkan bantuan itu dalam bentuk pinjaman atau fasilitas lainnya. “Kalau “dimanja” dengan ganti rugi, maka masyarakat akan enggan pergi dari daerah bencana serta tidak mandiri karena dijamin akan mendapatkan ganti rugi dari pemerintah pusat,” jelas Junun.
Di sisi lain, terkait dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam rapat kerja awal tahun 2011 mengenai daerah yang belum siap menghadapi bencana, menurut Junun, cukup masuk akal meskipun tidak dapat disamaratakan. Untuk penanganan bencana Merapi, dalam pandangan Junun Pemerintah Kabupaten Magelang, Sleman, dan lainnya sudah cukup optimal.
Ketidaksiapan beberapa pemerintah daerah menghadapi bencana alam dapat terjadi karena beberapa hal, seperti persoalan anggaran dan aparat/personil yang tergabung dalam Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). “Bisa jadi aparat dalam BPBD asal comot dari unit lain yang tidak sesuai kapasitas dan kemampuannya. Selain itu, biasanya kalau tidak ada bencana, maka anggaran untuk penanganan bencana alam itu tidak disiapkan,” kata pria kelahiran Yogyakarta, 18 November 1967 ini.
Seperti diketahui, banjir lahar dingin yang terjadi Minggu (9/1) malam sempat menutup akses jalan raya Magelang-Yogyakarta sehingga mengakibatkan ratusan warga di Kecamatan Salam dan Ngluwar terisolir. Selain itu, enam dusun yang berada di bantaran Kali Blongkeng, yang merupakan hulu sungai Kali Putih, tepatnya di Desa Ngluwar, Kecamatan Ngluwar, ratusan warganya terisolir. Enam dusun yang dimaksud ialah Sirahan, Glagah, Gemampang, Gebayan, Trayem, dan Sabrang Kali. (Humas UGM/Satria AN)