Indonesia sebagai negara multikultural acapkali meniscayakan ruang koeksistensi yang memberikan rekognisi bagi berbagai identitas pembentuk multikulturalitas. Sejumlah fakta menunjukkan banyak kebijakan negara semenjak pemerintahan kolonial hingga pemerintahan orde baru menonjolkan politik monokultural.
Hal tersebut dikemukakan oleh Suharno, M.Si., staf pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) saat ujian terbuka Program Doktor Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM, Kamis (14/4) di Gedung Pascasarjana Fisipol UGM.
Menurut Suharno, kebijakan yang menonjolkan politik monokultural ditujukan untuk menjaga stabilitas dan integrasi sosial. Kebijakan tersebut, selain mempersempit ruang koeskistensi antar elemen multikultural turut menambah potensi alamiah konflik dengan bobot politis. “Apalagi kebijakan monokultural tersebut diinstrumentasikan dengan sentralisme dan otoritarianisme,” paparnya.
Perpaduan antara kebijakan monokultural yang mengandung misrekognisi denga ketidakmampuan negara dalam mengawal kebijakan tersebut, kata Suharno, merupakan variable penting dalam berbagai konflik multikultural/multientik seperti yang terjadi di Kalimantan salah satunya Sampit.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Suharno di Sampit, Kotawaringin Timurmemperlihatkan bahwa prinsip-prinsip rekognisi telah terkonstruksi dalam Perda Kotawaringin Timur No. 5 Tahun 2004 denagn mengakui hak dan kedudukan setiap pihak yang berkonflik.
Disebutkan pria kelahiran Semarang, 17 April 1968 ini, etnik Madura sebagai etnis minoritas dan kurang diuntungkan serta diakui haknya sebagai warga negara untuk kembali tinggal di Sampit sepanjang menaati hukum yang berlaku. Disamping itu juga etnik Madura juga harus bersedia ikut menjunjung falsafah belom bahadat atau ‘dimana bumi dipijak disana langit dijunjung’. “Etnik Dayak diakui sebagai etnis asli yang mewajibkan setiap pendatang utuk menghormati dan menjunjung adat istiadat tersebut sepanjang menyangkut massalah sosial kemasyarakatan, bukan ritual keagamaan,” jelasnya.
Dalam disertasi berjudul “Politik Rekjognisi Dalam Peraturan Aderah Tentang Penyelesaian Konflik DI Dalam Masyarakat Multikultural” Suharno menyebutkan perda di Kotawaringin Timur mampu menyelesiakan konflik dan mencegah konflik laten menjadi konflik berikutnya. “Perda ini mampu menyelesaikan konflik, sebab proses penyusunan perda ini unik. Bersifat bottom up dengan proses yang sangat partisipatif dari masyarakat melalui forum dialog baik musyawarah internal etnik maupun anatr etnik, Dayak-Madura,” ungkapnya.
Lebih lanjut ditambahkan Suharno pemberlakuannya memberikan kepastian yuridis formal berupa jaminan perlindungan pada setiap pihak berkonflik untuk perdamaian. Pengaturan yang termuat didalamya sesuai dengan tuntutan untuk menyelesaikan sisa-sisa masalah yang timbul pasca kerusuhan berdarah pada 2001. “Hal ini mendorong para pengungsi untuk bernai pulang ke Sampit untuk hidup berdampingan kembali sebagaimana sebelum terjadi konflik,” terangnya.
Implementasi perda di Kotawaringin Timur, lanjut Suharno, dapat berjalan dengan baik dan secara gradual mampu mengharmonisasi masyarakat multikultural yang selanjutnya dapat mempreservasi suasana perdamaian. “Konflik etnik di Sampit relative selesai secara komperehensif tanpa meninggalkan persoalan besar. Itulah yang membedakannya dengan penanganan konflik horizontal lainnya sperti di Sambas dan Poso,” pungkas doktor UGM ke – 1.361 yang meraih predikat sangat memuaskan. (Humas UGM/Ika)