Yogyakarta- Minimnya keberadaan tenaga psikolog di pusat pelayanan kesehatan masyarakat (Puskesmas) di daerah menjadikan semakin terbatasnya jangkauan layanan psikologi klinis untuk kesehatan mental di masyarakat. Kondisi ini menyebabkan semakin banyaknya pasien gangguan jiwa di beberapa rumah sakit jiwa di daerah. Padahal, di Australia dengan Negara seluas benua tersebut ternyata hanya memiliki satu Rumah Sakit Jiwa.
Melihat kondisi ini, Psikolog UGM Prof Johan Endang Prawitasari menyampaikan keprihatinnnya dan mencoba mengembangkan psikologi klinis terapan makro untuk membantu meningkatkan kesehatan mental masyarakat. Penelitianpun dilakukan selama 25 tahun yang lalu.
“lewat psikologi klinis mikro tidak mungkin kita bisa menangani pelayanan per individu dengan jumalh masyarakat kita yang sangat besar ini. Sebab gangguan kejiwaan tidak bisa ditangani oleh dokter secara fisik semata, namun sudah masuk ranah psikologi,” kata Johana kepada wartawan usai seminar psikologi klinis untuk kesehatan dan kesejahteraan mental masyarakat di Auditorium Psikologi, Sabtu (14/5).
Johana mengungkapkan, pengunaan psikologi klinis sangat relevan diterapkan di Indonesia karena sesuai dengan karakter kearifan lokal dan budaya masing-masing. Bahkan pendekatan psikologi klinis makro menurut Endang sesuai dengan konsep psikologi nusantara yang tengah dikembangkan oleh Fakultas Psikologi UGM. Dikarenakan menggunakan pendekatan psikologi barat yang menitikberatkan pada penanganan psikologi secara individu dirasakan tidak cocok dengan karakter masyarakat Indonesia. “Selama ini penanganan psikologi ditangani dalam waktu lama bahkan memakan waktu selama 5 tahun yang ditekankan pada saraf bawah sadar,” katanya.
Dari beberapa hasil penelitian yang pernah dilakukannya, pendekatan psikologi makro ternyata mampu menangani konflik antar kelompok masyarakat di daerah-daerah yang terkena bencana. Salah satu caranya dengan memanfaatkan pengetahuan kearifan lokal, seni tradisional, musik dan nyanyian serta lewat metode panggung gembira.
Johana menceritakan pengalamannya dalam melakukan Psikologis klinis terapan makro juga pernah dilakukan untuk mengurangi penggunaan injeksi secara berlebihan (Over use injection) di 24 Puskemas di Gunung Kidul. Pasalnya penggunaan injeksi secera berlebihan di Gunung Kidul mencapai 70 persen. Sedangkan WHO menyarankan dokter dan perawat melakukan penggunaan obat yang rasional terhadap pasien untuk mencegah penyebaran virus HIV, penyebaran infeksi virus dan bakteri sehingga penggunaan injeksi diturunkan. Apalagi ada kebiasaan jika pasien datang ke dokter atau perawat selalu merasa akan sembuh jika sudah disuntik.
“lewat metode grup diskusi antara dokter, perawat dan pasien dalam beberapa waktu akhirnya kita berhasil menurunkan penggunaan jarum suntik berlebihan dari sebelumnya 70 persen hingga kini bisa turun 20 persen,” ungkapnya. Hasil penelitian tersebut akhirnya diadopsi di kamboja, china, Nepal dan India untuk menurunkan penggunaan obat lewat injeksi.
Sementara Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama Fakultas Psikologi UGM mengatakan seharusnya psikolog ditempatkan di tiap masing-masing puskesmas. Ke depan, pemerintah perlu lebih memperbanyak tenaga psikolog yang melayani masyarakat baik di rumah sakit hingga puskesmas.
Dia menyebutkan, beberapa daerah yang sudah menjalankan yaitu kabupaten Sleman dan Kotamadya Yogyakarta sudah mengalokasikan dana khusus untuk penempatan tenaga psikolog sejajar dengan tenaga kesehatan umumnya lewat penempatan tenaga psikolog di masing-masing puskesmas. “Kebijakan tingkat pusat sebenarnya sudah ada. Memang butuh dorongan agar tiap daerah mampu sediakan alokasi anggaran untuk tingkatkan kesehatan masyarakat,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)