Prof. Dr. Sudjito, S.H., M.Sc., Ketua Pengelola S2 dan S3 Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum UGM, mengatakan kondisi hukum di Indonesia akan semakin buram jika masih saja berkutat dengan penerapan paradigma hukum lama, yakni positivistik. Paradigma ini cenderung sekuler, materialistis, dan mengandung cacat ideologis.
Dijelaskan Sudjito, paradigma hukum di Indonesia memang telah dijalankan, tetapi telah meninggalkan moralitas. Hukum telah diceraikan dari moralitasnya. Hukum yang berjalan saat ini lebih banyak berpihak pada penguasa, pengusaha, dan politisi, serta semakin memarjinalkan rakyat.
“Yang dibutuhkan oleh rakyat adalah keadilan substansial dan keadilan sosial yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan keadilan dari proses tawar-menawar dan pemberlakuan hukum formal. Namun, hal ini diibaratkan ‘api jauh dari panggangan’. Jadilah penegakan hukum, yes, penegakan moral, no!” kata Sudjito dalam seminar nasional bertema “Refleksi Kebangsaan: Tinjauan Kehidupan Berbangsa Masa Kini dan ke Depan” yang digelar di Auditorium Fakultas Peternakan UGM, Selasa (29/12).
Namun, ditambahkan Sudjito, bangsa ini tetap harus optimis untuk mewujudkan hukum Indonesia yang lebih baik. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan sebuah lompatan pardigma, dari paradigma lama ke paradigma baru, yaitu paradigma holistik. Dengan demikian, diyakini olehnya bahwa hukum dapat dijalankan dan ditegakkan dengan baik.
Sementara itu, Ellan Satriawan, S.E., M.Sc., Ph.D., staf pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, memaparkan terdapat beberapa hal penting untuk direnungkan memasuki tahun 2010, terkait dengan pembangunan ekonomi Indonesia. Pertanyaan utama yang selalu relevan diajukan, lanjut Ellan, adakah orientasi pembangunan ekonomi setahun ini telah menjadikan manusia Indonesia sebagai tujuan akhir pembangunan, bukan semata-mata bertujuan pada peningkatan GNP, ekspor, dan indikator ekonomi lainnya?
Pembangunan ekonomi yang hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan indikator kebendaan lainnya memang akan tumbuh dan berekspansi, mungkin dengan kecepatan yang lebih tinggi dan dalam jangka pendek. Orientasi pembangunan semacam ini memang menumbuhkan perekonomian, tetapi juga melahirkan berbagai persoalan pembangunan yang kontraproduktif terhadap pembangunan ekonomi itu sendiri. “Ketimpangan yang melebar antarkelompok pendapatan, antara desa dan kota, antarwilayah, merupakan suatu indikasi bahwa pembangunan ekonomi kita masih berorientasi pada pertumbuhan kebendaan, belum sepenuhnya pada manusia,” terangnya.
Selain hal itu, dituturkan Ellan, pemerintah juga perlu mengawal pembangunan ekonomi dan membina hubungan dengan swasta secara proporsional. Selama ini, peran pemerintah dalam perekonomian sering tidak proporsional dan salah tempat. Salah satu contohnya, sikap pemerintah dalam menghadapi usaha besar cenderung longgar, sementara saat berhadapan dengan usaha kecil dan koperasi, pemerintah sangat dalam melakukan intervensi. “Dua hal tersebut yang perlu kembali ditegaskan dan selanjutnya menjadikannya ruh bagi desain dan implementasi kebijakan ke depan,” ujarnya. (Humas UGM/Ika)