Yogya, KU
Sejak dua-tiga tahun belakangan ini, di Bali dimunculkan sebuah ikon ‘Ajeg Bali’ yang mempertegas lagi batas-batas penanda identitas antara apa yang disebut sebagai ‘Bali’ dan “bukan Bali”. Ikon ini berdampak luar biasa dalam ruang kesadaran orang Bali. Secara harfiah, kata ajeg bermakna kukuh, tidak goyah, tegak, dan lestari. Kalau disandingkan, kata ajeg dan Bali berarti Bali yang kukuh atau Bali yang tidak goyah.
Dalam penelitian Drs. I Nyoman Wijaya, M.Hum., ‘Ajeg Bali’ merupakan semua bentuk kegiatan yang bercita-cita menjaga identitas kebalian orang Bali, yang dibentuk dengan cara mengartikulasikan Bali sebagai konsep kebudayaan, yang dimaknai sebagai adat dan agama leluhur. “Ajeg Bali adalah upaya sepihak para intelektual organik yang memperoleh atau diberikan kekuasaan berbicara oleh penguasa untuk menciptakan simbol-simbol baru kebudayaan demi menjaga kebudayaan Bali,” kata Nyoman Wijaya dalam ujian terbuka promosi doktor Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Senin (11/1/2010), di Ruang Seminar Sekolah Pascasarjana UGM.
Staf pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Udayana, ini menambahkan ‘Ajeg Bali’ juga sebuah latihan intelektual yang menghasilkan jawaban sementara tehadap tantangan zaman. ‘Ajeg Bali’ mengarah pada tindakan mencintai diri sendiri yang cenderung mengajak pihak lain untuk mengikuti nilai-nilai dan norma-norma keagamaan yang diwariskan oleh leluhur sendiri dengan cara memanipulasi memori sosial.
Hasil penelitian Nyoman Wijaya, ada tiga belas sifat umum gerakan ‘Ajeg Bali’, di antaranya diskriminatif, confidential, refleksif, pemaskaran, replikasi, komoditifikasi, sentimen, resesif, desakralisasi, defensi dan agresi, kolaborasi, reproduksi, serta adverse.
Menurut Nyoman Wijaya, pemikiran tentang ‘Ajeg Bali’ bukan berlandaskan pada realitas ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan bersifat artifisial dan ahistoris yang mengakibatkan terjadinya pertemuan timbal balik dan dialektis antara intelektual dan masyarakat. Padahal, penataan Bali semestinya dilakukan dengan cara terlebih dahulu mengganti sistem kebudayaan Bali dari yang berorientasi ke masa lampau menjadi ke masa depan.
“Hal itu dapat dilakukan dengan cara mengartikulasikan Bali bukan hanya sebagai konsep kebudayaan dalam arti sempit sebagai adat, agama, dan kesenian, tetapi lebih luas lagi sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna,” kata pria kelahiran Denpasar, 10 Maret 1958 ini.
Nyoman merekomendasikan penataan tersebut dapat dimulai dengan memberikan pelajaran sejarah kepada masyarakat seperti apa adanya, bukan yang direkayasa, baik demi kepentingan pribadi maupun kelompok. “Pencerahan ini diharapkan masyarakat senantiasa bersiap diri hidup dalam tradisi baru sesuai dengan jiwa zaman,” tambahnya.
Prof. Dr. Djoko Suryo, M.A. selaku promotor I Nyoman Wijaya dalam pesan dan kesannya kepada promovenduz mengatakan,kajian sejarah Bali sejak abad 20 hingga kini sangat penting dalam perspektif ilmu budaya atau humaniora. Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM ini berharap kajian dari dimensi sejarah ini akan diteruskan dan dikembangkan lebih lanjut. “Semangat dan kerja keras penelitian ini perlu ditingkatkan dan diperluas lagi untuk kepentingan universitas, masyarakat, dan bangsa,” kata Djoko Suryo seraya menyebutkan I Nyoman Wijaya merupakan lulusan doktor UGM ke-1157 dan berhasil meraih predikat cumlaude. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
Sejak dua-tiga tahun belakangan ini, di Bali dimunculkan sebuah ikon ‘Ajeg Bali’ yang mempertegas lagi batas-batas penanda identitas antara apa yang disebut sebagai ‘Bali’ dan “bukan Bali”. Ikon ini berdampak luar biasa dalam ruang kesadaran orang Bali. Secara harfiah, kata ajeg bermakna kukuh, tidak goyah, tegak, dan lestari. Kalau disandingkan, kata ajeg dan Bali berarti Bali yang kukuh atau Bali yang tidak goyah.
Dalam penelitian Drs. I Nyoman Wijaya, M.Hum., ‘Ajeg Bali’ merupakan semua bentuk kegiatan yang bercita-cita menjaga identitas kebalian orang Bali, yang dibentuk dengan cara mengartikulasikan Bali sebagai konsep kebudayaan, yang dimaknai sebagai adat dan agama leluhur. “Ajeg Bali adalah upaya sepihak para intelektual organik yang memperoleh atau diberikan kekuasaan berbicara oleh penguasa untuk menciptakan simbol-simbol baru kebudayaan demi menjaga kebudayaan Bali,” kata Nyoman Wijaya dalam ujian terbuka promosi doktor Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Senin (11/1/2010), di Ruang Seminar Sekolah Pascasarjana UGM.

Staf pengajar Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Udayana, ini menambahkan ‘Ajeg Bali’ juga sebuah latihan intelektual yang menghasilkan jawaban sementara tehadap tantangan zaman. ‘Ajeg Bali’ mengarah pada tindakan mencintai diri sendiri yang cenderung mengajak pihak lain untuk mengikuti nilai-nilai dan norma-norma keagamaan yang diwariskan oleh leluhur sendiri dengan cara memanipulasi memori sosial.
Hasil penelitian Nyoman Wijaya, ada tiga belas sifat umum gerakan ‘Ajeg Bali’, di antaranya diskriminatif, confidential, refleksif, pemaskaran, replikasi, komoditifikasi, sentimen, resesif, desakralisasi, defensi dan agresi, kolaborasi, reproduksi, serta adverse.
Menurut Nyoman Wijaya, pemikiran tentang ‘Ajeg Bali’ bukan berlandaskan pada realitas ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan bersifat artifisial dan ahistoris yang mengakibatkan terjadinya pertemuan timbal balik dan dialektis antara intelektual dan masyarakat. Padahal, penataan Bali semestinya dilakukan dengan cara terlebih dahulu mengganti sistem kebudayaan Bali dari yang berorientasi ke masa lampau menjadi ke masa depan.
“Hal itu dapat dilakukan dengan cara mengartikulasikan Bali bukan hanya sebagai konsep kebudayaan dalam arti sempit sebagai adat, agama, dan kesenian, tetapi lebih luas lagi sebagai ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna,” kata pria kelahiran Denpasar, 10 Maret 1958 ini.
Nyoman merekomendasikan penataan tersebut dapat dimulai dengan memberikan pelajaran sejarah kepada masyarakat seperti apa adanya, bukan yang direkayasa, baik demi kepentingan pribadi maupun kelompok. “Pencerahan ini diharapkan masyarakat senantiasa bersiap diri hidup dalam tradisi baru sesuai dengan jiwa zaman,” tambahnya.
Prof. Dr. Djoko Suryo, M.A. selaku promotor I Nyoman Wijaya dalam pesan dan kesannya kepada promovenduz mengatakan,kajian sejarah Bali sejak abad 20 hingga kini sangat penting dalam perspektif ilmu budaya atau humaniora. Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM ini berharap kajian dari dimensi sejarah ini akan diteruskan dan dikembangkan lebih lanjut. “Semangat dan kerja keras penelitian ini perlu ditingkatkan dan diperluas lagi untuk kepentingan universitas, masyarakat, dan bangsa,” kata Djoko Suryo seraya menyebutkan I Nyoman Wijaya merupakan lulusan doktor UGM ke-1157 dan berhasil meraih predikat cumlaude. (Humas UGM/Gusti Grehenson)