Wacana penyesatan dan penodaan agama akhir-akhir ini seperti bola liar yang dapat menghantam siapa saja yang berpandangan dan mempraktikkan ritual keagamaan yang dianggap menyimpang. Pada tahun 2009 telah ditemukan 25 kasus penyesatan, tidak hanya menyangkut agama Islam, tetapi juga kelompok-kelompok lain. Namun sayang, dalam melihat fenomena ini masyarakat dan pemerintah tidak memisahkan wacana penodaan agama dengan pelanggaran pidana yang menyertainya. Demikian halnya kepolisian dan aparat pemerintah juga tidak menunjukkan pemisahan antara keduanya.
Kondisi tersebut mendapatkan legitimasi dari masih adanya delik pidana penodaan agama dalam tata peraturan perundang-undangan Indonesia dan adanya tugas kepolisian yang mengawasi aliran yang dianggap meyimpang meskipun di sisi lain ada jaminan yang kuat dari konstitusi terhadap kebebasan beragama dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. “Kerumitan pemenuhan hak kebebasan beragama bagi kelompok yang selama ini dianggap sempalan adalah adanya pasal penodaan agama dalam hukum kita, yakni PNPS No. 1/1965 yang memberi peluang luas pemidanaan kasus-kasus yang dianggap sesat, menodai, dan menistakan agama,” jelas Zainal Abidin Bagir, Ph.D., Direktur Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) UGM, Senin (1/2), saat menyampaikan Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009 di Sekolah Pascasarjana UGM.
Dikatakan Bagir, PNPS No. 1 tahun 1965 memang menjadi ganjalan yang serius dalam upaya pemenuhan dan perlindungan kebebasan beragama di Indonesia. Menurutnya, sudah sepatutnya Indonesia sebagai negara demokrasi tidak melakukan kriminalisasi ajaran keagamaan. “Kalau ada praktik-praktik dari kelompok keagamaan yang membahayakan pengikutnya, seharusnya penegak hukum dan pengadilan menggunakan pasal-pasal lain di luar penodaan agama. Penegak hukum juga harus tegas menindak semua bentuk kekerasan terhadap kelompok yang dianggap sesat,” ujarnya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ifdal Kasim, Ketua Komnas HAM RI, Indonesia sebaiknya tidak melakukan kriminalisasi terhadap agama. PPNS No. 1/1965 tersebut sebenarnya tidak diperlukan. Dikatakan Ifdal bahwa sebenarnya telah terdapat pasal-pasal dari KUHP yang dapat digunakan untuk menindak pelaku penistaan ataupun penodaan agama, sekaligus melindungi hak-hak warga dalam beragama. “Hal ini menandakan bahwa negara belum sepenuhnya memproteksi warga negara untuk menjalankan keyakinan yang dianut,” imbuhnya.
K.H. Salahudin Wahid, pengasuh Ponpes Tebu Ireng, Jombang, mengatakan adanya undang-undang dan peraturan belum tentu dipahami dengan baik oleh masyarakat dan aparat penegak hukum. Dengan demikian, masih terbuka celah untuk melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan undang-undang yang berlaku. Untuk itu, imbuhnya, perlu ada pengakuan dan pemahaman, baik dari masyarakat maupun penegak hukum terhadap undang-undang. (Humas UGM/Ika)