Pendidikan usia dini sebagai institusi amal usaha, di satu sisi berupaya mengembangkan relasi sosial dalam institusi pendidikan yang berbasis nilai-nilai agama dan menyemaikan nilai-nilai demokrasi. Di sisi lain, ia juga menjadi panggung atau arena kontestasi kekuasaan oleh pemilik otoritas dengan menjadikan nilai-nilai dari agama sebagai sumber legitimasi. Praktik dominasi berlangsung karena amal usaha diposisikan sebagai milik pengurus (the owner) dan konstruksi kepemilikan itu menjadi basis dominasi kekuasaan yang berlangsung intens.
Demikian kesimpulan disertasi staf pengajar Universitas Sriwijaya, Drs. M. Ridhah Taqwa, M.Si., yang disampaikan saat ujian terbuka program doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Jumat sore (19/2). Promovendus mempertahankan disertasi berjudul "Relasi Kekuasaan dalam Institusi Pendidikan, Studi Kasus di Sekolah ‘Aizifah Yogyakarta" dengan promotor Prof. Dr. Susetiawan dan ko-promotor Dr. Aris Arif Mundayat. "Maknanya, wacana kebenaran yang bersumber dari nilai-nilai agama dan kemajuan menjadi arena bersemayamnya kepentingan kekuasaan dan ekonomi oleh pihak dominan," paparnya di hadapan tim penguji.
Menurut Ridhah Taqwa, terdapat kecenderungan pengelola tidak mampu menurunkan nilai-nilai amar ma’ruf dan misi untuk menghidupkan amalan usaha sebagai acuan (guidance) dalam mengelola amal usaha sesuai dengan kondisi kekinian. Sementara itu, pada saat yang bersamaan mereka juga belum mampu beradaptasi dengan prinsip demokrasi dan mekanisme pengelolaan keuangan serta aset yang transparan dan akuntabel. "Hal itulah yang menjadi penyebab (hambatan) sulitnya nilai-nilai demokrasi disemaikan dalam pengelolaan amal usaha. Maknanya adalah kecepatan mengadopsi prinsip demokrasi yang tidak dibarengi dengan kecakapan atau kecerdasan memaknai dan melaksanakan nilai itu," tutur pria kelahiran Enrekang, 31 Desember 1966 ini.
Suami Siti Dinar Amin ini juga menjelaskan berlangsungnya praktik dominasi dikondisikan oleh struktur organisasi sekolah yang hierarkis dan perbedaan kepemilikan modal sosial yang memberi ruang terbuka bagi pihak pemiliki modal untuk melakukan praktik dominasi melalui wacana representasi dan kebenaran. Modal tersebut berupa otoritas, pengetahuan, konstruksi, dan wacana ideologis yang dalam proses beroperasinya saling bersinergi, tidak hanya berlaku pada era kekuasaan pengurus, tetapi juga pada era kekuasaan kepala sekolah.
Selain modal sosial, sekolah juga memiliki modal budaya dan simbolik untuk memperkuat posisi tawarnya dengan pihak lain. Untuk pihak yang tersubordinasi, modal sosial dan posisi tawarnya rendah karena pengetahuan minim, otoritas rendah, dan kemampuan tafsir terhadap nilai terbatas. "Dalam konteks ketergantungan inilah kekuasaan beroperasi, bukan dimiliki sebagaimana yang menjadi tesis Foucault," jelas ayah tiga putra ini. (Humas UGM/ Agung)